Selasa, 31 Januari 2012

SEJARAH ARSITEKTUR DEKONSTRUKSI

Sejak pameran mengenai Arsitektur Dekonstruksi yang diadakan di Museum Seni Modern di New York pada bulan Juli dan Agustus 1988, Dekonstruksi menjadi sebuah aliran baru dalam Arsitektur dan dapat meneruskan atau menggantikan gaya Internasional (International Style), yang dalam tahun tigapuluhan juga diperkenalkan dalam Museum yang sama. Tentu ini merupakan sukses besar bagi para dekonstruktivis yang ikut pameran itu, yaitu : Frank O. Gehry, Daniel Libeskind, Ren Koolhaas, Peter Eisenman, Zaha M. Hadid, Coop Himmelblau dan Bernard Tschumi. Sebenarnya  yang memperkasai untuk menerapkan konsep dekonstruksi dalam bidang arsitektur pertama kali adalah Bernard Tschumi. Selanjutnya, bersama mantan mahasiswanya yang bernama Zaha Hadid dan Peter Eisenman, mencoba memperkenalkannya melalui pameran dengan nama “Deconstruction Architecture”. 

Pada sebuah simposium di “Tate Gallery”  di London dalam bulan Maret 1988 terjadi beda pendapat antara pihak yang berpegangan pada hubungan Dekonstruksi dengan filsafat dan pihak yang memandang Dekonstruksi sebagai perkembangan Sejarah Seni dan Konstruktivisme Rusia. Sukses ini berkat kombinasi filsafat Dekonstruksi; Jacques Derrida dan Konstruktivisme Rusia. Karena  itu penting untuk meninjau pertalian antara teori dan praktek, antara renungan dan rancangan. Pada bulan Oktober tahun 1985 pada Colloquium di Paris duapuluh orang Arsitek, filsuf dan kritisi membicarakan peran teori dalam Arsitektur dari arti Arsitektur bagi filsafat. 

Aliran Dekonstruksi tidak terdapat dalam Arsitektur saja, bahkan Jacques Derrida telah menemukan logik yang bertentangan dalam  akal dan implikasi,  dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa sebuah teks tidak pernah setepatnya mengandung arti yang hendak dikatakannya atau tidak mengatakan yang  dimaksudkan. Derrida berpendapat bahwa kegiatan Tschumi dan Eisenman dalam Arsitektur sama dengan perbuatannya dalam filsafat, yaitu kegiatan Dekonstruksi.

PENGERTIAN ARSITEKTUR DEKONSTRUKSI
Dekonstruksi adalah istilah yang digunakan pertama kalinya pada tahun 1967, oleh Jacques Derrida, seorang ahli bahasa yang juga filsuf dan budayawan Perancis kelahiran Algeria, tahun 1930. Pakar ini menelaah secara radikal teori ilmu bahasa yang pada waktu itu menganut Strukturalisme yang pernah dikembangkan oleh Ferdinand deSaussure antara tahun 1906-1911. Dekonstruksi juga merupakan reaksi terhadap modernisme dalam perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan filsafat. Modernisme dalam perkembangan filsafat ilmu berdasar pada ratio, logos dalam intelektual manusia. Sebagaimana peranan logos, yaitu menciptakan, mengorganisasi, menyusun suatu jalan pikiran dengan sistem yang jelas, maka hal-hal yang kecil, hal-hal yang dasar menjadi hilang. Pengalaman individual, pengalaman  pribadi yang begitu “kaya” biasanya dihilangkan demi mencapai suatu konstruksi yang jelas, tegas dan tepat.

Kata ‘dekonstruksi’ dipergunakan Derrida dalam buku De la Grammatologie, di mana kata tersebut merupakan terjemahan dari istilah Heidegger, yaitu: destruktion dan abbau. Dalam konteks ini, keduanya mempunyai kesamaan pengertian sebagai: operasi yang dilakukan atas struktur atau  arsitektur ‘tradisional’ dari konsep dasar ontology atau metafisik barat (occidental). Tetapi dalam bahasa Perancis, istilah destruction mengimplikasikan suatu pengancuran total,  tetapi Derrida tidak menginginkan adanya penghancuran yang total itu. Untuk itulah Derrida memakai kata ‘deconstruction’ yang diketemukannya dalam Littre untuk menandai maksudnya dalam bahasa Perancis.

Rumusan Derrida mengenai dekonstruksi (deconstruction) tidak pernah secara definitif diperoleh. Kesulitan terletak pada Phenomenon deconstruction sebagai gejala “mengada”  yang tidak pernah menuju ke arah kebakuan. Derrida mengatakan bahwa “dekonstruksi bukan semata-mata metoda kritis”. Metoda kritis perlu diartikan sebagai memiliki sifat kritis terhadap dirinya sendiri. Dengan hakekat kritis ini maka wilayah jelajah dekonstruksi tidak dibatasi pada konteks filosofi saja. Selain itu, oleh Derrida dekonstruksi juga dianggap bukanlah merupakan metoda berpikir yang destruktif, karena senantiasa membongkar habis struktur-struktur makna dan bangun suatu konsep. Menurut Derrida “sikap dekonstruksi senantiasa afirmatif dan tidak negatif”, sebab sesuatu yang negatif tidaklah membuka diri pada pencarian pemahaman lebih utuh.

PEMBACAAN DEKONSTRUKSI PADA GEDUNG MESINIAGA

KONSEP RANCANGAN GEDUNG MESINIAGA


Penafsiran atas marka-lingkungan dari pencakar langit milik perusahaan besar yang mencengangkan ini, menjelajahi arah baru dari tipe bangunan yang biasanya tidak bersahabat. Pihak arsitek menjuluki tipe baru ini “bangunan tinggi beriklim-bio”  dan memberinya pengendalian iklim serta penghematan energi yang peka. Yang patut dicatat adalah adanya dua spiral “taman angkasa”  yang berputar ke atas sambil memberi bayangan dan kontras visual terhadap permukaan baja dan alumunium dari gedungnya. Rangka beton pra tekan pada gedung itu  selanjutnya ditingkahi oleh dua tipe penangkis sinar matahari serta tirai baja dan kaca yang membuat citra High Tech yang organik, apalagi setelah dilengkapi dengan mahkota logam dan umpak pada bagian landasan bangunannya. Menara  Mesiniaga merupakan sebuah penelitian arsiteknya atas prinsip-prinsip iklim-bio  bagi perancangan gedung tinggi di daerah beriklim tropis. Menara Mesiniaga memiliki langgam arsitektur campuran dari langgam kolonial, Cina, Eropa dan Malaysia. 

bangunannya diperlihatkan seluruhnya  dan penyejukannya dilakukan memlaui Gedung Mesiniaga merupakan buah penelitian arsiteknya atas prinsip-prinsip iklim-bio bagiperancangan gedung tinggi di daerah beriklim tropis. Yang ditampilkan adalah suatu organisasi spasial memanjang yang diisi dengan hirarki tertentu.  Bangunan tersebut memiliki tiga bagian struktur yaitu : umpak berselimut unsur hijau yang terangkat, badan yang bernuansa spiral dengan balkon untuk teras taman dan tirai yang memberi bayangan, dan bagian puncak tempat fasilitas rekreasi berupa kolam renang serta teras beratap. Struktur beton pratekan dan rangka bajapengudaraan alami dan buatan.

Sejalan dengan penjelasan diatas pembahasan selanjutnya berusaha untuk mengetahui sejauh mana pengertian dekonstruksi yang tanpa disadari oleh perancangan terdapat pada bangunan tersebut. Pembacaan dekonstruksi Gedung Mesiniaga karya Kenneth Yeang dalam pembahasan ini digunakan dengan menerapkan beberapa asas-asas  ‘dekonstruksi’ yang digunakan seperti  apa yang telah dilakukan oleh Benedikt dalam meninjau Museum Kimbell. Dengan demikian mudah-mudahan ‘dekonstruksi’ pada Gedung Mesiniaga ini dapat terbaca.
 
PEMBACAAN DEKONSTRUKSI GEDUNG MESINIAGA
KONSEP ‘DIFFERENCE’ PADA RANCANGAN MESINIAGA

Konsep difference-nya Derrida nampaknya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan metafisikanya ‘sebuah pohon raksasa’-nya gedung Mesiniaga , dimana dengan pemaknaan bahwa tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir. Dengan menempatkan konsep taman secara memutar dan kontiniu (continuous planting spiraling up), hal ini telah memberikan suatu makna ingin menghadirkan suatu bangunan yang di metafora-
kan sebagai sebuah ‘pohon raksasa’. 

Taman yang memutar dan bentuk bangunan  yang berbentuk lingkaran adalah sebuah tanda yang menghadirkan sesuatu yang tidak hadir yaitu sebuah pohon yang dilengkapi dengan dedaunan. Sedangkan pohon itu sendiri merupakan tanda ‘ketidakhadiran yang tertunda’ dari apa yang semestinya dihadirkan.
 
Pohon pada konsep bangunan ini merupakan sebuah metafora dari apa yang seharusnya hadir dalam sebuah pelestraian alam, dimana pohon merupakan suatu unsur yang terpenting dalam memberikan seuatu keseimbangan alam.

Spiral ‘taman angkasa’ yang dikembangan di dalam perencanaan bangunan Mesiniaga ini, dimana taman tersebut berputar ke  atas dipakai sebagai alat yang memberikan bayangan yang kontras visual kepada permukaan baja dan alumunium dari gedung tersebut, hal ini juga merupakan sebuah metafor dari apa yang seharusnya hadir yaitu sebuah alam yang ditumbuhi oleh beberapa tanaman yang hijau dan asri.

Konsep sebuah pohon, yaitu sebuah unsur alam yang hidup dan tumbuh serta berdiri pada sebuah bidang tanah, merupakan sebuah konsep yang dipergunakan oleh Ken Yeang untuk membuat dan membangun Gedung Mesiniaga. Metafisikanya  sebuah pohon terlihat jelas sekali pada bangunan ini, dimana penundaan kehadiran yang seharusnya hadir, sudah merupakan sebuah bukti adanya ‘defference’-nya Derrida ada di obyek ini. 
 
Site yang ditata sedemikian rupa dan teratur dan ditumbuhi  sebatang pohon pada areal sekitar site tersebut. Pohon-pohon menumbuhkan cabang-cabangnya, kolom-kolom menumbuhkan balok-balok. Pertumbuhan terus berlanjut, batang-batang menumbuhkan dedaunan. Bentuk yang sedang bertumbuh ini dapat kita lihat pada  bangunan Gedung Mesiniaga dimana kolom-kolom tersebut  dapat kita lihat karena berada luar bangunan. Selanjutnya kehadiran mahkota baja yang berada pada puncak bangunan ini juga dapat di metaforkan sebagai puncak sebuah pohon yang  selalu dipenuhi oleh dedaunan, dimana pemaknaan tersebut merupakan sebuah tanda menghadiran sesuatu makna yang tidak hadir. Sebuah puncak pohon yang selalu dipenuhi dengan dedaunan tersebut merupakan sebuah tanda ketidakhadiran, dimana kehadirannya ditandai dengan hadirnya sebuah rangka baja yang menyerupai sebuah mahkota. 
 
Seperti telah diungkapkan pada pembahasan terdahulu tentang penataan tapak, bahwa tanaman di sekitar bangunan yang ditata membentuk spiral pada kulit bangunan juga dipandang sebagai alam yang hijau. Ini sesuai dengan teori Yoshinibu Ashihara, bahwa untuk membentuk sebuah tatanan ruang luar, kita dapat memperlakukan tanaman di taman  sebagai masa yang dapat juga membentuk ruang luar, sama seperti masa bangunan, jadi kedudukan masa bangunan dan masa tanaman memang sama bila ditinjau dari pembentukan ruang luar. Kenneth Yeang mengatakan  konsepnya tentang rancangannya ini sebagai proses bangunan bio - klimatik, tetapi apa yang terlihat ternyata melangkah lebih jauh dari proses terjadinya sebuah bentuk. Bila kita melihat sketsa dari tema  space of one hundred columns  kita seolah diajak  untuk membayangkan bahwa bentuk tersebut tumbuh dari site itu sendiri. Hal ini terlihat pada site dimana bangunan seakan muncul dari dalam tanah pada sebuah perbukitan. 


Konsep “Continuous PalntingSpiraling Up” dari Gedung Mesiniaga

Penerapan konsep tersebut dengan menempatkan taman secara memutar keatas dan diakhiri oleh sebuah mahkota.

Terlihat dikejauahan, memperlihatkan seakan-akan bangunan tersebut tumbuh dari sebuah perbukitan


PEMBALIKAN HIRARKI PADA RANCANGAN MESINIAGA

Filsafat modern dengan metafisika kehadirannya sangat menekankan kepastian yang tak tertunda karena segala sesuatu harus bisa diselesaikan dengan logika. Diferensiasi secara ketat menghasilkan perbedaan dua kutub yang dipertentangkan secara diamatral (oposisi) binari). Elemen yang pertama dianggap yang penting dan mendominasi yang kedua, secara hirarkis yang kedua sub-ordinansi terhadap yang pertama, sehingga kalau yang kedua harus ada, maka ia hanya berperan sebagai perlengkap penderita. Derrida melakukan dekonstruksi terhadap pandangan  oposisi ini dengan menempatkan kedua elemen tersebut tidak secara hirarkis yang satu dibawah yang lain, tetapi sejajar sehingga secara bersama-sama dapat menguak makna (kebenaran) yang lebih luas, lebih mendalam pada suatu bingkai tanpa batas.
 
Dalam konteks ini dan melihat konsep perencanaan Gedung Mesiniaga ada beberapa bagian yang dapat dilihat secara ‘pembalikan hirarki’ dekonstruksi. Salah satunya yaitu sebuah konsep penempatan fungsi penampungan air yang biasanya berada di dasar bangunan atau pada halaman sebuah bangunan, dalam hal ini sang arsitek Kenneth Yeang mengadakan suatu pembalikan hirarki dengan menempatkan sesuatu yang semestinya berada dibawah dalam hal ini diletakkan diatas bangunan, atau pada puncak bangunan lantai 20. Biasanya pada bangunan-bangunan  pencakar langit, pada lantai puncak diletakkan fungsi darurat yanitu meletakan “Helipaid’. Fungsi penampungan air ini, digunakan sebagai media yang memberikan  sumber kehidupan bagi ‘taman angkasa’ yang diciptakan Ken Yeang pada bangunan tersebut


 
Perletakkan penampungan air hujan yang berfungsi sebagai penyuplai air bagi ‘taman angkasa’ spiral


 

Dengan menggunakan sifat air yang selalu berjalan ketempat yang lebih rendah maka dengan meletakkan penampungan air diatas bangunan maka air tersebut dapat memberikan sumber kehidupan bagi ‘taman angkasa’ yang berbentuk spiral.

KONTEKS PUSAT DAN MARJINAL PADA RANCANGAN MESINIAGA
 
Perbedaan antara ‘pusat’ dan ‘marjinal’ merupakan konsekuensi dari adanya hirarki yang ditimbulkan oposisi binari. Yang ‘marjinal’ adalah yang berada pada btas pad tepian, berada diluar (outside), karenanya dianggap tidak penting. Sementara yang ‘pusat’ adalah yang terdalam yang dijantung daya tarik dan makna dimana setiap gerakan berasal dan merupakan tujuan gerakan dari yang marjinal.

Derrida mempertanyakan keabsahan posisi ini dalam konsep ‘parergon’ (para : tepi, ergon : karya), yaitu bingkai  lukisan. Kalau hanya untuk  membingkai lukisan selalu dibuat demikian bagus berukir. Bukankah pembingkaian (framing) ini mempunyai nilai sendiri terlepas dari nilai lukisan yang dibingkainya ?.

Dinding pada umumnya berfungsi sebagai kulit luar dari sebuah bangunan. Dinding pada umumnya berada pada bagian luar (outside), dan merupakan bagian yang digunakan sebagai batas dari sebuah ruang. Dibalik dinding dapat dipastikan ada sebuah ruang, pada ruang tersebut ada bermacam-macam komponen penyusun ruang, antara lain perabotan. Apabila pada sebuah bangunan tinggi biasanya pada sebuah ruang ada salah satu unsur yang cukup penting sebagai struktur  pendukung bangunan yanitu ‘tiang’, dimana biasanya tiang ini pada ruang-ruang tertentu muncul dan berada di dalamnya.  Selanjutnya pada suatu perencanaan dapat  juga memperlihatkan bahwa posisi tiang dan dinding berada pada dimensi yang sama. 
 
Melihat rancangan Ken Yeang, dimana posisi keduanya yaitu antara tiang dan dinding telah dibedakan dalam peletaknya. Pada konteks dekonstruksi tentang ‘pusat’ dan ‘marjinal’ , dan melihat pengertian dari konsep ‘parergon’-nya Derrida, maka penempatan dinding yang seharusnya berada pada marjinal pada gedung tersebut ditempatkan seolah-olah pada pusat bangunan yang dilindungi oleh beberapa buah tiang yang melindunginya. Peran tiang yang merupakan fungsi struktur bangunan tinggi diusahakan juga berperan  sebagai alat pelindung dinding yang ditarik kepusat untuk menghindari pencahayaan yang berlebihan.

Dinding-dinding bangunan yang selama ini dibiarkan sebagai komponen yang tidak berguna tetapi pada bangunan Gedung Mesiniaga peranan dinding yang ditarik kepusat tersebut mempunyai peran yang sangat sentral dalam mengatur pencahayaan yang masunk kedalam gedung. Dinding-dinding tersebut dipenuhi oleh kaca-kaca yang berfungsi untuk  memasukkan berkas-berkas cahaya sehingga kegelapan didalamnya terusir dan masuklah roh yang memberikan kehidupan pada bangunan ini sehingga terjadilah proses kehidupan yang terjadi pada pembahasan sebelumnya. Cahaya ini terus masuk pada siang hari dari bukaan- bukaan yang ada pada kulit-kulit bangunan dan
diarahkan oleh lempengan-lempengan logam yang berada diluar dinding tersebut. Tetapi pada malam 
 
hari kita melihat proses sebaliknya, keluarnya roh itu dari dalam gedung Mesiniaga.  Keluarnya cahaya dari bangunan sangat kuat terasa pada bangunan tengah. Dan pengeluaran cahaya ini terasa sangat memberikan arti bahwa bangunan tersebut mengisyaratkan pada lingkungan bahwa di dalamnya ada suatu roh dan kehidupan. Cahaya disini tidak sekedar merasuk kedalam ruang tetapi juga keluar dari ruangan, sehingga bentuk di sini adalah wadah dari roh, seperti falsafah Lao Tze tentang ruang. Bahwa yang penting adalah yang ada di dalam, kekosongan yang ada di dalam itu, dan ini semakin diperkuat dengan adanya aliran kehidupan dari keluar-masuknya cahaya tersebut.


Secara jelas terlihat peranan dinding yang berada dipusat dari lingkaran luar bangunaan tersebut sangat sentral dan penting sekali di dalam mengatur pencahayaan alami Gedung Mesiniaga, dalam hal ini ‘sang’ dinding meninggalkan ‘sang’ tiang yang tetap dengan kemarjinalannya. 

Pada rancangan denah Gedung Mesiniaga terlihat perletakan kolom yang berada diluar dari dinding gedung tersebut. Proses penukaran antara  pusat dan marjinal terlihat pada bagian ini

PENGULANGAN DAN MAKNA PADA RANCANGAN MESINIAGA
 
Suatu kata atau tanda memperoleh maknanya dalam suatu proses berulang (iteratif) pada konteksyang berbeda dimana secara konotif maupun denotif artinya akan memperoleh struktur yang stabil. Dalam arsitektur, penggunaan metafora secara berulang-ulang akan membuka pemahaman yang lebih baik terhadap makna yang dimaksudkannya.

Pengulangan/ serangkaian titik menunda kehadiran makna yang akan dimunculkan (dalam konteks bahasa). Ia juga merupakan waktu istirahat, jedah, memperlambat tempo atau mengarah padaketidakthuan. Serangkaian tanda tanya menunda kehadiran makna tentang kebingungan, kegalauan, ketidakpastian, dan seterusnya. Serangkaian tanda seru menunda kehadiran makna tentang kemarahan, kegeraman dan seteruanya. Dengan demikian pengulangan/ serangkaian titik, tanda tanya, tanda seru merupakan metafora dari ketidkthuan, kebingunan dan kemarahan. 


Pada bangunan Gedung Mesiniaga, pengulangan alat penangkis sinar matahari yang terbuat dari logam merupakan suatu tanda tanya tentang  kehadiran suatu makna yang tersembunyi dibalik kehadirannya. Ibarat kepala seorang manusia yang ditutupi sebuah topi, artinya manusia tersebut melindungi kepal dari sengatan sinar matahari, tetapi selain topi dibutuhkan pula suatu bentuk dari topi tersebut sebuah penangkis cahaya yang dapat menghindarkan mata dari silaunya matahari. Kemudian apa bila seorang manusia merasa silau terhadap sinar matahari sedangkan  dia tidak menggunakan topi, secara reflek tangannya akan digunakan sebagai penangkis  sinar matahari. Kalau penangkis sinar matari tersebut hanya diletakkan cuma sebuah pada bangunan  Gedung Mesiniaga tersebut, maka belum memberikan makna metafora dari sebuah ‘tangan manusia’ untuk
menangkis matahari dari silaunya cahaya matahari, tetapi karena diberi secara berulang-ulang maka makna penangkis tersebut semakin jelas namun kehadiran makna sebenarnya dari sebuah ‘tangan manusia’ tetap tertunda dibalik kehadirannya, apalagi penempatannya berada pada bagian-bagian tertentu yang memang dibutuhkan akibat fungsi yang diembannya. Oleh karena itu akibat pemunculan lempengan tersebut semakin jelaslah makna melalui metafora ‘tangan manusia’ yang sedang menahan silaunya sinar matahari. 

 
Pada gambar terlihat lempengan baja yang diletakkan pada bagian-bagian tertentu secara berulang. Kehadirannya sebagai sebuah tanda tanya menunda sebuah kehadiran makna dari ‘tangan manusia’ yang sedang menahan silaunya matahari yang menyinari mata manusia tersebut.

Gambar yang memperlihatkan sebuah konsep Penempatan penangkis sinar matahari sebagai  Sebuah metafora  tangan manusia’ yang sedang Dari silaunya cahaya matahari



Lihat Selanjutnya - SEJARAH ARSITEKTUR DEKONSTRUKSI

Sabtu, 28 Januari 2012

CERITA SIMANJUNTAK





Anak pertama Raja Marsundung Simanjuntak (Simanjuntak yang pertama) lahir dari Boru Hasibuan, yaitu Raja Parsuratan Simanjuntak (parhorbo jolo). SIMANJUNTAK Sitolu Sada Ina adalah 3 bersaudara lahir dari Sobosihon Boru Sihotang istri yang berikutnya

Simanjuntak Sitolu Sada Ina yaitu:

Raja Mardaup SImanjuntak
Raja Sitombuk Simanjuntak
Raja Hutabulu Simanjuntak
Mulanya sebutan ‘parhorbo jolo-pudi’ ini merupakan sindiran masyarakat karena pembagian warisan yang aneh oleh RAJA PARSURATAN terhadap adiknya. Sindiran tersebut karna parhorbo jolo sebagai anak sulung tidak adil membagi harta warisan (sawah dan kerbau) sepeninggal ayahanda di Balige. RAJA MARSUNDUNG menikah dengan SOBOSIHON Boru SIHOTANG setelah istrinya Boru HASIBUAN meninggal. RAJA PARSURATAN pernah hampir membunuh SIMANJUNTAK Sitolu Sada Ina sewaktu SIMANJUNTAK Sitolu Sada Ina masih bayi. Ketika RAJA MARDAUP lahir RAJA PARSURATAN hampir membunuhnya namun gagal berkat antisipasi Ompu-nya SIMANJUNTAK Sitolu Sada Ina yaitu SI GODANG ULU (SIHOTANG) maka RAJA MARDAUP selamat. Kisah itu diketahui SIMANJUNTAK Sitolu Sada Ina setelah mereka dewasa, namun SIMANJUNTAK Sitolu Sada Ina tetap tidak pernah menaruh dendam terhadap kakaknya atas pesan dari ibunda tercinta agar SIMANJUNTAK Sitolu Sada Ina tetap menganggap RAJA PARSURATAN sebagai pengganti ayah. Diceritakan oleh CYRUS JALA SIMANJUNTAK (1902-1975) dan Pdt.Ev. SAITUN ROBERTH HASIHOLAN SIMANJUNTAK (1946-2006)

RAJA MARSUNDUNG SIMANJUNTAK adalah anak kedua dari pasangan TUAN SOMANIMBIL dan istrinya Boru LIMBONG. Mereka mempunyai tiga anak, yitu:

SOMBA DEBATA SIAHAAN, menikah dengan Boru LUBIS.
RAJA MARSUNDUNG SIMANJUNTAK, menikah dengan Boru HASIBUAN lalu kemudian setelah duda menikah dengan SOBOSIHON Boru SIHOTANG.
TUAN MARRUJI HUTAGAOL, menikah dengan Boru PASARIB
RAJA MARSUNDUNG menikah dengan Boru HASIBUAN lalu mereka menetap di Hutabulu (sekarang Parlumbanan). Mereka dikaruniai seorang putera bernama RAJA PARSURATAN dan seorang puteri bernama SIPAREME. Kehidupan mereka diberkati dengan banyak sekali ternak kerbau hingga orang sering menyebut RAJA MARSUNDUNG dengan sebutan ‘SIMANJUNTAK PARHORBO’.

Mautpun memisahkan dan RAJA MARSUNDUNG menjadi duda setengah umur. Suatu saat dia sakit parah bahkan dia tak sanggup mengurus dirinya sendiri. Menurut adat Batak Toba yang layak mengurus dia hanya Boru LUBIS yang adalah istri abangnya (akang boru). Kalau Boru PASARIBU yang adalah istri adiknya (anggi boru) pantang saling bicara dengan dia begitu juga menantunya (parumaen) tidak boleh berbicara dengan dia sebab begitu adatnya. Sementara puterinya sendiri, SIPAREME segan mengurusnya sampai perkara yang sangat sensitif.

Kemudian RAJA MARSUNDUNG pulih lalu SOMBA DEBATA SIAHAAN menganjurkan padanya agar dia menikah lagi supaya ada yang mengurusnya kelak apabila dia sakit. Hal ini tidak disetujui RAJA PARSURATAN dan TUAN MARRUJI HUTAGAOL namun, karena fakta dan pengalaman pahitnya, RAJA MARSUNDUNG setuju untuk menikah lagi.

Pada masa itu ada istilah kalau ingin mencari istri pengganti maka sebaiknya pergi menyeberangi danau Toba (versi asli: molo mangalului panoroni ba borhatma tu bariba ni tao Toba). SOMBA DEBATA SIAHAAN dan RAJA MARSUNDUNG pun berangkat ke daerah Si Raja Oloan. Di sana ada seorang lelaki yang agak asing rupa fisiknya. Bentuk kepalanya besar dan dia dinamai RAJA SI GODANG ULU SIHOTANG. Keanehan ini juga tampak pada anak – anaknya sehingga terkadang mereka sering dikucilkan banyak orang sampai – sampai walaupun puterinya sendiri SOBOSIHON berumur banyak belum ada laki – laki yang mau melamarnya hingga RAJA MARSUNDUNG melamarnya.

Kedatangan RAJA MARSUNDUNG melamar SOBOSIHON sangat menggembirakan hati RAJA SI GODANG ULU walaupun yang melamar puterinya adalah seorang duda yang sudah memiliki anak. Namun itu bukan persoalan baginya dan pernikahan secara adat sepenuh (adat na gok) dilakukan. Wali pengantin prianya adalah SOMBA DEBATA SIAHAAN. SOBOSIHON pun menjadi istri RAJA MARSUNDUNG. Mereka bermukim di Parlumbanan (saat narator berkunjung ke daerah Parlumbanan lokasi daerah ini merupakan persawahan).

Setelah tiba waktunya bagi SOBOSIHON untuk melahirkan, beberapa hari sebelumnya dia telah memberi kabar kepada ayahnya tentang keadaannya itu. Namun, perasaan sang calon ibu ini gelisah setelah mendapat mimpi; ketika SOBOSIHON akan mandi di Aek Na Bolon, setelah dia membuka bajunya tiba – tiba petir menyambar buah dadanya sebelah. Mimpi ini juga diberitahukan kepada RAJA SI GODANG ULU. Setelah mendengar kabar dan mimpi puterinya itu dia menyuruh menantu perempuannya (parumaen) berangkat menemui puterinya di Parlumbanan Balige. Padahal menantunya ini baru lima hari selesai melahirkan bayi perempuan namun, karena taat kepada mertuanya dia tetap bersedia pergi disertai tugas dan pesan khusus dari RAJA SI GODANG ULU. Adapun tugas dan pesan itu;

- Memberitahu SOBOSIHON bahwa akan ada bahaya yang mengancam bayinya setelah dia bersalin.

- Apabila bayi yang lahir laki – laki maka bayi itu harus ditukarkan dengan bayi perempuan menantunya ini dan bayi laki – laki itu harus dipangku dan disusui oleh menantu RAJA SI GODANG ULU ini sampai bahaya berlalu.

- Kelak apabila kedua bayi itu sudah dewasa maka mereka sebagai berpariban telah dipertunangkan sejak lahir (dipaorohon).

Sesampainya di Parlumbanan, menantu RAJA SI GODANG ULU atau yang disebut ‘Nantulang Na Burju’ oleh Parhorbo pudi ini, dia mendapati SOBOSIHON sedang bergumul dibantu dukun beranak (sibaso) untuk bersalin. Lalu kemudian lahirlah bayi laki – laki dan setelah dimandikan sang bayi langsung ditukarkan sesuai pesan tadi.

Diadakanlah acara makan bersama (pangharoanion) untuk syukuran kelahiran bayi itu. Seluruh penduduk kampung diundang. Mendengar kabar bahwa adik tirinya adalah laki – laki maka RAJA PARSURATAN menjadi benci dan ingin membunuh adiknya itu sebab menurutnya kelak akan ada pewaris harta ayahnya selain dia.

RAJA PARSURATAN pun datang ke acara itu dan dia membawa pisau penyadap pohon enau di dalam sarung yang terselip di pinggangnya. Kehadirannya membuat semua orang terharu sebab selama ini dia memusihi ibu tirinya, namun di saat kegembiraan dirasakan dan dirayakan ibu tirinya dia turut hadir di sana. itulah penilaian orang kebanyakan. Padahal RAJA PARSURATAN hendak memanfaatkan momen ini untuk membunuh adik tirinya. Lalu dia meminta supaya dia boleh memangku adiknya yang baru lahir itu. Dan bayi yang telah bertukar tadi pun dipangkunya sampai bayi itu basah atau kencing. RAJA PARSURATAN ingin mengganti kain popok adiknya.

Inilah kesempatan bagi RAJA PARSURATAN. Ketika mengganti kain popok adiknya maka dia berencana untuk menyelipkan pisau ketika kain itu dipakaikan. Dia pun meminta kain pengganti itu pada SOBOSIHON. Namun SOBOSIHON takut kalau – kalau RAJA PARSURATAN tahu bahwa bayi yang dipangkunya bukanlah adiknya. Dia mengatakan pada RAJA PARSURATAN supaya biarlah ibu yang mengganti kainnya. Akan tetapi karena RAJA PARSURATAN tetap berkeras untuk mengganti kain adiknya maka orang banyak pun menyuruh SOBOSIHON agar menurutinya.

Saat membuka kain basah bayi yang dipangkunya RAJA PARSURATAN terperanjat karena bayi yang dilihatnya bukanlah bayi laki – laki. Merasa niatnya sudah terbaca maka geramlah hatinya dan dia berdiri lalu melangkahi bayi itu dan berjalan menghampiri SOBOSIHON dan berkata; “Orang mengatakan bahwa yang lahir adalah adikku laki – laki tetapi engkau telah menipuku dengan memberi anak perempuan orang lain untuk aku pangku, inilah bagianmu” RAJA PARSURATAN menghujamkan pisau tepat di dada dan memotong buah dada SOBOSIHON lalu setelah itu lari meninggalkan acara yang dalam keadaan kacau.

RAJA PARSURATAN tidak berhasil menemukan dan membunuh adiknya tetapi buah dada SOBOSIHON ibu tirinya telah menjadi tumbalnya (daupna) maka bayi laki – laki itu diberi nama RAJA MARDAUP. Demikianlah RAJA MARDAUP diselamatkan ‘Nantulang Na Burju’ yang rela menyeberangi danau Toba demi menyampaikan pesan RAJA SI GODANG ULU. Itulah sebabnya sampai sekarang semua keturunan SIMANJUNTAK dari SOBOSIHON sangat menghormati keturunan dari SI GODANG ULU yaitu marga SIHOTANG.

SOBOSIHON melahirkan bayi perempuan. Kabar ini terdengar ke seluruh penduduk daerah Si Bagot Ni Pohan. Namun hal ini tidak meresahkan hati RAJA PARSURATAN sebab dalam tradisi Batak anak perempuan tidak berhak dalam pembagian warisan. Jadi kelahiran adik tiri yang perempuan ini turut menggembirakan RAJA PARSURATAN. Sang bayi diberi nama SI BORU HAGOHAN NAINDO.

Selang beberapa tahun kemudian SOBOSIHON melahirkan lagi. Begini ceritanya sehingga sang bayi diberi nama RAJA SITOMBUK.

Tak henti – hentinya RAJA PARSURATAN mengamati kehidupan ibu tirinya yang dia anggap bisa mengurangi jatah harta warisan untuknya kelak. Dia bertanya kepada orang pintar apa jenis kelamin bayi yang akan dilahirkan ibunya. Setelah mengetahui bahwa bayi laki – laki jawabannya, dia berusaha merancang kecelakaan agar bayi itu tidak bernyawa saat dilahirkan.

Saat ayah dan ibunya tidak berada di rumah, dia bekerja keras untuk memotong kayu penghalang papan yang ada tepat di sekeliling tiang tengah rumah (tiang siraraisan) dimana setiap ibu rumah tangga yang hendak bersalin akan menyandarkan badannya di tiang itu dan kain pegangan yang dipakai untuk bersalin juga digantungkan di situ.

Adapun maksud RAJA PARSURATAN supaya ketika ibunya bersalin kayu penghalang papan itu rubuh ketika diduduki setelah itu sang bayi akan celaka terhimpit. Apa yang terjadi? Ternyata kayu itu patah sebelum sang bayi lahir dan tembuslah lantai rumah itu.Karena kaget setelah tergeletak di kolong rumah, seketika itu melahirkanlah SOBOSIHON dan bayinya selamat. Bayi itu diberi nama RAJA SITOMBUK. Tombus dalam bahasa Indonesia ‘tembus’. Papan lantai rumah telah tembus dan kejadian itu pulalah yang membuat bayi dilahirkan selamat walau tanpa bantuan dukun beranak.

Dengan bantuan dukun beranak lahirlah bayi perempuan yang kedua bagi SOBOSIHON lalu oleh RAJA MARSUNDUNG bayi itu diberi nama SI BORU NAOMPON. Sebelum proses persalinan RAJA PARSURATAN telah mengetahui dari orang pintar bahwa adiknya adalah perempuan. Hal ini tidak menjadi masalah baginya walau ketamakan akan harta warisan masih memenuhi hati dan pikirannya saat itu.

Rupanya kali ini RAJA PARSURATAN pergi lagi bertanya kepada orang pintar perihal jenis kelamin adik tirinya yang akan lahir. Jawaban dan pemberitahuan yang diterimanya bahwa adiknya adalah laki – laki. Dia teringat akan permintaan orang Batak perihal rumah; “Jabu sibaganding tua ima hatubuan ni anak dohot boru si boan tua”. Artinya “Rumah tempat berbagai macam tuah adalah tempat lahirnya putera dan puteri pembawa tuah”.

Kali ini RAJA PARSURATAN ingin memusnahkan rumah tempat tinggal ayahnya dan ibu tirinya. Dia sendiri telah mempunyai rumah setelah menikah dan pisah rumah dari orang tuanya (manjae). Dia hanya mempunyai seorang anak laki – laki dan dia merasa posisinya kelak terancam jika semakin banyak anak laki – laki yang dilahirkan ibu tirinya. Inilah yang membuat dirinya selalu ingin berbuat sesuatu untuk melenyapkan setiap bayi laki – laki dari ibu tirinya.

Waktunya tiba dan SOBOSIHON akan melahirkan bayinya. Para ibu bersama dukun beranak telah berkumpul dan memasuki rumah RAJA MARSUNDUNG. Dari kejauhan RAJA PARSURATAN mengamat – amati mereka. Setelah melihat mereka telah masuk ke rumah maka RAJA PARSURATAN membawa sulutan api. Dia membakar atap rumah dari bagian dapur. Api menyala dan semua ornag berhamburan keluar rumah termasuk SOBOSIHON. Dia panik sambil berteriak api..api..api..api.. Dia pun berpegangan pada batang bambu yang berada di pinggir pekarangan rumahnya.

Tidak lama kemudian, orang – orang berdatangan ke sana dan berusaha bergotong – royong memadamkan api. Perhatian orang teruju pada rumah yang mulai terbakar dan pada saat itu pula di bawah pohon bambu lahirlah anak kelima dari SOBOSIHON yang kemudian diberi nama RAJA HUTABULU karena bayi itu dilahirkan di bawah pohon bambu di kampungnya.

Walaupun selalu mendapat rintangan namun SOBOSIHON tetap tabah dalam setiap proses persalinannya karena RAJA MARSUNDUNG dan keluarga SOMBA DEBATA SIAHAAN terutama Boru LUBIS sangat memperhatikan dan mengasihinya.

Usia RAJA MARSUNDUNG kira – kira telah lebih delapan puluh tahun lalu dia meninggal dunia. Kepergian suaminya sangat membuat hati SOBOSIHON sedih sementara anak bungsu mereka masih menyusui dan keempat anaknya yang lain masih belum cukup dewasa.

Bagi suku Batak Toba anak tertua adalah pengganti ayah bagi adik – adiknya. Yang paling kehilangan sosok ayah hanya anak tertua. RAJA PARSURATAN menggantikan kedudukan ayahnya dalam segala hal penting dia menjadi kepala keluarga. Situasi ini dimanfaatkan RAJA PARSURATAN untuk menguasai semua aspek kehidupan ibu tiri dan adik – adiknya sehari – hari. Dia selalu bersikap diktator terhadap adiknya terutama yang laki – laki. Namun SOBOSIHON selalu mengingatkan anak – anaknya agar mereka selalu menghormati abang tirinya yang adalah pengganti ayah.

Setelah beberapa tahun ayahnya meninggal RAJA PARSURATAN memanfaatkan tenaga keenam orang adiknya dengan anak tunggal serta istrinya untuk mengusahakan semua kebun dan sawah peninggalan mendiang ayahnya dan dikelola seefektif mungkin. Perekonomian RAJA PARSURATAN pun meningkat. Dia kemudian membangun rumah ukir (ruma gorga).

Setelah bangunan induk selesai maka proses berikutnya dalam pembangunan rumah ukir tersebut adalah pembuatan ukiran. Untuk mengukir relif rumah pada masa itu lazim digunakan darah manusia sebagai campuran pewarna relif. Hal tersebut agar rumah itu mempunyai semangat atau ada keangkerannya. Mengingat RAJA PARSURATAN bukanlah seorang yang kuat dalam berperang maka tidak mungkin baginya mendapatkan darah manusia dengan cara berperang melawan negeri lain.

Timbullah niat jahat RAJA PARSURATAN terhadap saudara tirinya. Pada suatu sore dia meliahat kedua adik perempuannya tampak akrab sebab memang SIPAREME sudah gadis dan HAGOHAN NAINDO mulai remaja. RAJA PARSURATAN ingin membunuh adik tirinya untuk diambil darahnya sebagai campuran pewarna rumah ukirnya. Kedua adik perempuannnya ini sering sama – sama tidur dengan SOBOSIHON ibu mereka. Hampir setiap malam keduanya menganyam tikar (mangaletek) dan bila sudah larut mereka tidur tanpa menyalakan lampu. Sedangkan untuk menghindari gigitan nyamuk mereka menutup badannya dengan tikar (marbulusan). kebiasaan tidur marbulusan ini sampai sekarang masih dapat kita jumpai di beberapa daerah di Tapanuli Utara. Demikianlah tiap malam cara kedua gadis ini menghabiskan waktu.

Tentang rencana jahat RAJA PARSURATAN, untuk membedakan yang mana yang harus dibunuh maka kepada SIPAREME diberikan sebuah gelang yang terbuat dari gading. Konon gelang itu merupakan pusaka pemberian dari mendiang Boru HASIBUAN, ibu kandungnya RAJA PARSURATAN. Lalu SIPAREME pun memakai gelang itu. Melihat gelang yang sangat putih dan menyala dalam gelap, HAGOHAN NAINDO tertarik akan gelang itu. Dia meminjam dan kemudian memakainya. Seperti biasanya mereka menganyam tikar setelah malam tiba mereka tidur marbulusan dan gelang tadi masih di tangan HAGOHAN NAINDO.

Malam itu menjelang subuh datanglah pembunuh bayaran ke rumah RAJA PARSURATAN dengan membawa pisau. RAJA PARSURATAN berpesan pada pembunuh itu bahwa sekarang ada dua gadis yang tidur di rumah ayahnya dan gadis yang tidak memakai gelanglah yang harus dibunuh. Pembunuh itupun melaksanakan tugasnya kemudian SIPAREME dibunuh lalu darahnya ditampung dan diberikan kepada RAJA PARSURATAN. Sementara mayat SIPAREME dibuang ke lembah yang tak dapat dituruni yaitu yang sekarang terletak di lembah Sipintu Pintu (perbatasan antara Balige dengan Siborong Borong). Matahahari pun terbit dengan air mata dan tangisan HAGOHAN NAINDO karena kakaknya telah hilang.

Demikianlah rencana jahat RAJA PARSURATAN dimana dia hendak membunuh HAGOHAN NAINDO tetapi yang terbunuh adalah SIPAREME yaitu adik kandungnya satu – satunya.

Melihat tindak – tanduk anak tirinya SOBOSIHON selalu bersusah hati, apalagi setelah SIPAREME diketahui dibunuh dan darahnya dijadikan campuran pewarna ukiran rumah RAJA PARSURATAN. Hal ini membuat SOBOSIHON jatuh sakit hingga penyakitnya parah. Saat penyakitnya semakin memburuk, dia dikelilingi kelima anaknya, sedang RAJA PARSURATAN seperti biasanya pergi ke sawah.

Saat itu SOBOSIHON berpesan:

Jangan lupakan apa yang telah dilakukan oleh abangmu RAJA PARSURATAN akan tetapi, jangan balaskan perbuatan jahatnya karena hanya MULA JADI NA BOLON (Tuhan) sajalah yang akan membalaskannya.
RAJA PARSURATAN itu adalah abangmu sebagai ganti ayah bagimu, dimana dia duduk janganlah kamu menghampiri dan jika kamu sedang duduk di suatu tempat kalau dia datang tinggalkanlah dia, karena dia adalah ganti ayah bagimu yang harus kamu hormati.
Jangan kamu menyusahkan hatinya walaupun dia menyusahkan kamu, bila kamu sedang menyalakan api di dapur rumahmu atau dimana saja lalu asapnya terhembus angin ke rumahnya atau ke arah di mana abangmu berada padamkanlah apimu itu supaya dia tidak mengeluarkan air mata karena asap apimu walaupun kamu harus terlambat menyiapkan masakanmu.
Jangan bertengkar dengan abangmu, sebab itu apabila tanamanmu ada yang condong tumbuh mengarah ke pekarangan rumahnya seumpama tanaman pisangmu sedang tumbuh dan berjantung maka lebih baik tebang saja itu dari pada setelah buahnya ada lalu diambil oleh anaknya dan kamu tidak bisa menahan emosimu dan bertengkar.

Setelah menyampaikan pesannya SOBOSIHON menghembuskan nafas terkahir. Pesan inilah yang kemudian sampai saat ini terus mewarnai pola hidup dari keturunan RAJA MARDAUP, RAJA SITOMBUK dan RAJA HUTABULU dan pesan – pesan tersebut sangat dihargai dan dituruti oleh seluruh keturunan SIMANJUNTAK SI TOLU SADA INA.

Setelah beberapa tahun SOBOSIHON meninggal, keluarga SIMANJUNTAK tiga bersaudara satu ibu ini dilanda kesedihan karena SI BORU HAGOHAN NAINDO gadis yang rupawan ini meninggal dunia dengan cara yang menyedihkan.

Suatu hari pada musim panen RAJA PARSURATAN telah menyabit sawahnya dan padinya telah dikumpulkan di sawah hanya tinggal menunggu dibersihkan dari batangnya saja. Cara membersihkannya dengan menginjak – injak batang padi yang ada bagian bulirnya (mardege). Untuk mardege biasanya dilakukan secara bergotong – royong bersama para tetangga di waktu subuh supaya ketika matahari terbit dan panas menyengat padi yang sudah dilepas dari jeraminya tinggal dijemur dan pada sore hari padi tinggal dibersihkan dari sekam dengan bantuan angin (mamurpur).

Pada pagi yang naas itu RAJA PARSURATAN beserta beberapa orang berangkat ke sawah untuk mardege. Sebelum berangkat dia berpesan pada SI BORU HAGOHAN NAINDO agar menyiapkan makan siang dan membawanya ke sawah. Makan pagi telah dibawa istri RAJA PARSURATAN. Sebenarnya ini adalah rencana jahatnya terhadap adiknya. sebab sesungguhnya bekal makan pagi tidak jadi dibawa ke sawah.

Menjelang siang semua orang yang bergotong – royong bekerja di sawah sudah bersungut – sungut karena rasa lapar dan mereka berkata; “DImana adikmu yang akan membawakan makanan pagi ini, kenapa dia belum datang juga?”. Sebelumnya RAJA PARSURATAN mengatakan pada mereka bahwa dia sudah berpesan pada adiknya agar makan pagi dipersiapkan, namun sebenarnya tidak demikian.

Sekira pukul sebelas atau menjelang teriknya panas matahari (mareak hos ni ari) datanglah SI BORU HAGOHAN NAINDO dengan membawa makanan tetapi dia disambut dengan caci maku oleh semua orang. Lalu RAJA PARSURATAN mengambil hidangan yang dijunjung di atas kepala SI BORU HAGOHAN NAINDO dan langsung mencampakkan air panas ke wajahnya. SI BORU HAGOHAN NAINDO meraung – raung kesakitan wajahnya melepuh. Saat itu pula RAJA PARSURATAN mengambil jerami dan menutupi badan SI BORU HAGOHAN NAINDO lalu menyulut jerami itu dengan api sehingga SI BORU HAGOHAN NAINDO terbakar hidup – hidup.

Demikianlah SI BORU HAGOHAN NAINDO mati dalam rasa sakitnya yang tak terperikan. Setelah tak bernyawa dia ditanam tanpa sepengetahuan saudara – saudaranya. Namun, bagaimanapun setiap perbuatan busuk akan tercium juga baunya. Salah seorang yang mengetahui pembunuhan itu berpihak kepada keturunan SOBOSIHON dan menceritakannya pada mereka. Hal ini sering membuat puteri (boru) SIMANJUNTAK yang mengetahui kisah ini merasa sakit hati terhadap Parhorbo jolo hingga kini.

Kematian SI BORU HAGOHAN NAINDO membuat SI BORU NAOMPON trauma untuk menjalani hidup tinggal di Balige. Dia sering menangis mengingat tragedi maut yang dialami kedua kakaknya. Dia meminta pada ketiga saudaranya agar dia diantar ke daerah Si Raja Oloan ke rumah RAJA SI GODANG ULU SIHOTANG (Ompungnya). Hal ini membuat ketiga saudaranya terharu.

Muncul persoalan. Siapa yang akan memasak makanan dan mengurus rumah apabila SI BORU NAOMPON pergi? RAJA HUTABULU berkata pada abangnya; “Bukankah dulu abang RAJA MARDAUP telah ditunangkan dengan paribannya sejak lahir? Sekarang abang ambil saja dia menjadi pendamping abang secepatnya agar ada yang mengurus rumah dan memasak makanan untuk kita”.

Perkataan ini membuka jalan pikiran ketiga saudaranya dan sekaligus membuka jalan bagi SI BORU NAOMPON untuk dapat tinggal di kampung Ompugnya. Lalu mereka berangkat ke sana. Setelah SI BORU NAOMPON diantar kemudian ketiga bersaudara ini kembali ke Balige bersama pariban yang telah menjadi istri RAJA MARDAUP, yaitu Boru SIHOTANG cucu SI GODANG ULU yang kemudian melahirkan tiga orang anak laki – laki:

1. NA MORA TANO, kemudian menikah dengan Boru SIHOTANG.

2. NA MORA SENDE, kemudian menikah dengan Boru SIHOTANG.

3. TUAN SI BADOGIL, kemudian menikah dengan Boru SIAGIAN PARDOSI.

Demikianlah kisah pertunangan antara RAJA MARDAUP dengan paribannya yang sudah dipertunangkan dari lahir dan kemudian berakhir dengan pernikahan setelah mereka dewasa.

Suatu saat terdengar kabar bahwa di Laguboti ada seorang gadis cantik puteri dari RAJA ARUAN dan cucu dari PANGULU PONGGOK. Gadis ini sangat pintar menyanyi dan merdu suaranya. Mendengar kabar itu RAJA SITOMBUK yang pintar bermain seruling bambu dan menguasai hampir semua lagu yang populer pada zamannya, datang bertandang ke Laguboti.

Setibanya di sana dia kemudian meniup serulingnya. tanpa diketuk pintu rumah para gadis di Laguboti telah terbuka untuknya bahkan kadang – kadang mereka datang melihat permainan suling itu dari dekat. Pilihan si pemuda ganteng ini jatuh pada gadis tercantik dan yang pintar pula menyanyi. Setiap RAJA SITOMBUK bertandang ke Laguboti, kehadirannya ini selalu menjadi acara hiburan bagi muda – mudi setempat.

RAJA SITOMBUK menyampaikan maksudnya ingin mempersunting Boru ARUAN pada amang tuanya yaitu SOMBA DEBATA SIAHAAN dan juga RAJA MARDAUP abangnya. Sepeninggal mendiang SOBOSIHON, RAJA PARSURATAN sudah tidak perduli lagi terhadap keturunan SOBOSIHON.

Akhirnya pesta adat sepenuh pun (adat na gok) diadakan untuk memperistri Boru ARUAN. Dari pernikahan ini RAJA SITOMBUK memperoleh seorang anak laki – laki bernama RAJA MANGAMBIT TUA.

Puteri dari RAJA MARSUNDUNG yang hidup hanya SI BORU NAOMPON. Dia tinggal bersama ompungnya di Si Raja Oloan. Suatu kali pada musim panen RAJA MARDAUP dan RAJA SITOMBUK sepakat untuk mengutus RAJA HUTABULU berangkat ke rumah ompung mereka menjemput SI BORU NAOMPON menggunakan sampan kecil (solu pardengke).



Tugu Sobosihon br Sihotang

Kemudian RAJA HUTABULU tiba di rumah ompungnya dengan selamat. Dia memberitahukan bahwa maksud dan tujuannya untuk menjemput SI BORU NAOMPON. Lalu SI BORU NAOMPON diberangkatkan oleh Tulang dan ompungnya dengan acara makan khusus disertai doa agar kiranya SI BORU NAOMPON segera menemukan jodoh (sirongkap ni tondi). Setelah itu berangkatlah mereka berdua menuju Balige.

Dalam perjalanan menggunakan sampan di danau Toba yang luas angin berhembus kencang. RAJA HUTABULU berusaha mengayuh dayungnya agar sampan bergerak menuju arah yang dikehendaki. Tiba – tiba dayungnya patah dan hanyut terbawa ombak. Dalam keadaan terombang – ambing sampan itu mengikuti arah angin dan untuk menenangkan keadaan SI BORU NAOMPON bernyanyi; “Ue..luahon ahu da parau, ulushon ahu da alogo manang tudiape taho, asalma tu topi tao”.

Mendengar ada suara wanita bernyanyi, seorang pemuda yang sedang berada di tengah danau Toba dekat bagian pantai Marom langsung mengayuh sampannya menuju sumber suara itu. Setelah mendekatkan sampannya dia melihat ada dua orang dalam sebuah sampan dan mereka tidak mempunyai dayung. Setelah mengetahui bahwa keduanya bersaudara maka pemuda itu (NA MORA JOBI SIRAIT) membawa mereka ke Marom dan beristirahat satu malam di sana.

Keesokan harinya dengan dayung baru serta dipandu NA MORA JOBI SIRAIT, mereka bertolak dari Marom menuju Balige. Inilah pertemuan antara SI BORU NAOMPON dengan NA MORA JOBI SIRAIT dan dengan senang NA MORA JOBI SIRAIT mengantar sampai ke Balige. Beberapa hari kemudian mereka berdua sepakat untuk menikah. NA MORA JOBI SIRAIT pun pulang dan memberitahukan hal itu pada orangtuanya yang sudah melihat kecantikan SI BORU NAOMPON. Dengan senang mereka setuju dan mendukung permintaan puteranya lalu berangkat melamar SI BORU NAOMPON.

RAJA PARSURATAN sudah semakin tua dan jika hendak pergi kemana – mana dia enggan pergi sendirian. Kadang – kadang dia membawa anak tunggalnya kalau bepergian tetapi sering juga bersama adik tirinya yang masih lajang yaitu RAJA HUTABULU. Suatu saat RAJA PARSURATAN pergi dan RAJA HUTABULU ikut serta sebagai pembawa kantongan (sitiop hajutna). Mereka berjalan mengikuti jalan setapak naik turun lembah. Ketika mereka berjalan di dataran tinggi Silangit tiba – tiba RAJA HUTABULU melihat segumpal benda jatuh dari atas dan dikerjarnya ke depan lalu ditangkap menggunakan ulos hande handenya kemudian dibungkusnya.

RAJA PARSURATAN melihat adiknya berlari dan berkata; “Adikku, benda apa yang tadi kamu tangkap?”. Sahut adiknya; “Abang yang kuhormati, aku belum tahu apa yang kutangkap dan bungkus ini, tetapi aku akan membukanya dan memberitahukan apa isi ulosku ini pada abang apabila kita sudah kembali ke kampung kita, asalkan abang berjanji akan membagikan harta peninggalan mendiang ayah kita”. Tanpa pikir panjang RAJA PARSURATAN pun setuju. Sebenanrnya RAJA MARDAUP dan RAJA SITOMBUK tidak pernah berani meminta bagian harta warisan pada abang mereka.

Setelah kembali ke kampung RAJA HUTABULU menceritakan pada kedua abangnya tentang apa yang dia katakan pada abangnya dalam perjalanan dan juga tentang janji abangnya yang akan membagi harta warisan.

Tibalah waktunya, tua – tua kampung diundang datang berkumpul menyaksikan pertemuan itu. RAJA HUTABULU menyatakan maksudnya pada kumpulan tua – tua itu (ria raja). “Karena ada sesuatu yang jatuh dari atas dan kutampung lalu kubungkus dengan ulos hande handeku dan ini terjadi dalam perjalanan aku dan abang yang kuhormati sewaktu di Silangit. Abang kami ini ingin mengetahui apa isi dari bungkusan ini yang aku sendiri juga belum tahu. Namun abang yang kuhormati ini telah berjanji akan memberikan bagian warisan peninggalan mendiang ayah kami apabila aku menunjukkan dan membagi benda yang akan kita lihat ini”. Perkataan tersebut dibenarkan oleh RAJA PARSURATAN dan disaksikan oleh semua orang yang berkumpul di halaman rumah RAJA MARSUNDUNG ayah mereka.

Maka dihadapan para tua – tua RAJA HUTABULU membuka bungkusan hande handenya itu dan tampaklah abu bekas sarang burung yang terbakar di dalamnya. Setelah RAJA PARSURATAN melihat dia mengatakan bahwa bukannya dia tidak mau membagi warisan dan kemudian dia berkata; “Tunggu kalianlah dapat dulu dua bulan”. Lalu kumpulan pun bubar dengan kesimpulan bahwa setelah dapat waktunya dua bulan baru akan ada pembagian warisan.

Dua bulan kemudian RAJA HUTABULU mengumpulkan tua – tua kampung untuk melakukan ria raja. Di hadapan ria raja RAJA PARSURATAN berkata pada adiknya; “Mana bulan yang sudah kamu dapat, sudahkah ada dua?”. Semua yang mendengarnya heran ternyata maksud dari ucapan RAJA PARSURATAN pada ria raja sebelumnya bukanlah mengenai tenggang waktu dua bulan, tetapi tentang mendapatkan dua buah bulan. Maka ria raja berakhir dengan mengecewakan pihak tiga bersaudara seibu.

Dua minggu kemudian malam harinya ketika posisi bulan persis berada di atas di langit, pergilah RAJA HUTABULU ke sumur tempat dimana dulu mendiang ayahnya biasa mandi. Dia menatap ke permukaan air dalam sumur dan melihat bayangan bulan di situ. Segera dia bergegas menjumpai kedua abangnya dan mengatakan bahwa dia baru saja menemukan dua buah bulan.

Dengan rasa was – was kedua abangnya dan RAJA HUTABULU kembali mengundang tua – tua kampung. Setelah semuanya hadir termasuk RAJA PARSURATAN lalu RAJA HUTABULU berdiri dan berkata; “Amang raja na liat na lalo, lumobi di ho angkang raja na malo, didokhon ho dung dapot dua bulan asa lehononmu parbagianan sian na pinungka ni amanta na hinan. On pe saonari ba nunga dapothu be alus ni hatami raja bolon. Betama hita tu parmualan paridian ni amnta an”. Artinya; “Bapak – bapak sekalian kumpulan yang terhormat, amat terlebih abang yang kuhormati, kamu berkata setelah dapat dua buah bulan barulah kamu memberikan warisan dari mendiang ayah kita dan kini aku sudah menemukannya. Marilah kita bersama – sama pergi ke sumur tempat madi ayah.

Seluruh yang hadir di situ berjalan menuju sumur. Setibanya di sana RAJA HUTABULU menunjuk ke permukaan air di dalam sumur dan terlihat ada bayangan bulan di situ, kemudian dia menunjuk ke arah atas dimana juga terlihat ada bulan. Akhirnya RAJA PARSURATAN tidak dapat lagi mengelak dan dilakukanlah pembagian warisan setelah mereka kembali ke halaman rumah.

Lalu kemudian RAJA PARSURATAN berkata; “Sekarang di hadapan tua – tua aku akan membagi warisan peninggalan orang tua kita”. Beginilah pembagiannya:

1. Mengenai sawah, karena aku adalah anak dari istri pertama ayah, maka tanah persawahan yang pertama dialiri air adalah milikku dan karena ibu kita dua orang, maka tanah akan dibagi dua luasnya.

2. Mengenai semua kerbau milik mendiang ayah kita, karena aku adalah anak dari istri pertama ayah, maka paha depan (parjolo) setiap kerbau merupakan bagianku, sedangkan paha belakang adalah bagian kamu bertiga anak istri ayah yang kemudian (parpudi).

Pembagian warisan itu ditetapkan di hadapan tua – tua kampung dan tidak ada seorang pun yang berbicara menentang pembagian itu.

Narator sendiri yang adalah keturunan SIMANJUNTAK SI TOLU SADA INA sudah melihat langsung lokasi sawah warisan dari RAJA MARSUNDUNG yang dibagi dua itu. Kenyataannya setelah diamati; sawah di kampung Parsuratan terletak di hulu Aek Bolon yang mengairi persawahan di daerah itu, sedangkan sawah di kampung HUTABULU berada di hilir. Sekiranya musim kemarau melanda, maka kampung Parsuratanlah yang terlebih dahulu menikmati air setelah air dipakai baru kemudian dialirkan ke hilir.

Mengenai pembagian warisan ternak, di kalangan masyarakat Batak Toba bila hendak membagi ternak berkaki empat, maka ternak itu dibagi dua dan selalu dibagi menjadi sebelah – sebelah (sambariba). Namun RAJA PARSURATAN membagi dengan cara lembu dibagi berdasarkan paha depan (parjolo) dan paha belakang (parpudi). Hal ini sangat aneh dan dibalik keanehan itu sebenarnya RAJA PARSURATAN telah mengantisipasi ke depan supaya hanya dia yang selalu memanfaatkan tenaga kerbau untuk membajak sawah dan menarik pedati makanya dia membagi dengan cara yang demikian. Jadi karna hanya satu – satunya peristiwa pembagian kerbau yang demikian anehnya, maka orang kebanyakan sejak saat itu mengejek dengan sebutan ‘Parhorbo jolo’ terhadap RAJA PARSURATAN dan keturunannya. Sedangkan kepada ketiga bersaudara seibu orang menyebut mereka dengan ‘Parhorbo pudi’.

Bagi para pembaca yang bermarga atau boru SIMANJUNTAK narator mengajak dan berpesan bila kita ditanya; “SIMANJUNTAK mana kamu?” sebaiknya kita jawab “SIMANJUNTAK PARSURATAN” atau “SIMANJUNTAK SI TOLU SADA INA” sebab istilah ‘Parhorbo jolo’ dan ‘Parhorbo pudi’ merupakan ejekan orang Batak Toba tempo dulu terhadap pembagian warisan ternak kerbau kita. Ejekan itu berkembang dan kini dianggap sebagai suatu istilah di kalangan orang Batak Toba padahal bagi kita keturunan SIMANJUNTAK RAJA MARSUNDUNG sudah tidak ada lagi kerbau kita, kan?

Sebelumnya telah diceritakan bahwa RAJA HUTABULU sejak remaja sampai menjadi seorang pemuda sering berkunjung ke daerah Si Raja Oloan ke rumah Ompungnya (SI GODANG ULU SIHOTANG) baik itu karna mengantar jemput itonya (SI BORU NAOMPON) maupun hanya sekedar bertandang ke sana.

Suatu ketika dia melihat seorang Boru Tulang yang sangat cantik dan boleh dikatakan gadis tercantik di seluruh daerah Si Raja Oloan. Kemudian karena RAJA HUTABULU memang seorang pemuda pintar (simak kisah bagaimana ketika dia menghadapi abang tirinya, dia selalu tampil piawai dalam pemikiran dan pembicaraan) dan hal ini terdengar sampai ke daerah Si Raja Oloan. Boru Tulangnya tadi sudah pernah berkunjung ke Balige, yaitu ke tempat amang borunya (ayahnya RAJA HUTABULU). Jadi merupakan pilihan yang tepat jika RAJA HUTABULU mempersunting paribannya itu menjadi istrinya.

Suatu saat sewaktu suami istri RAJA HUTABULU dan Boru SIHOTANG duduk – duduk di depan rumahnya, melintaslah seorang yang buruk rupa dan Boru SIHOTANG menyeletuk; “Jelek sekali orang ini seperti beruk aku lihat” (versi Toba; “Roa nai jolma on songon bodat huida”). Perkataan itu kedengaran oleh orang tadi dan dia membalas; “Aku kamu bilang seperti beruk? Biarlah lahir anakmu yang seperti beruk!” (versi Toba; “Ahu didok ho songon bodat? Ba sai tubuma anakmu na songon bodat!”). Pada saat itu Boru SIHOTANG sedang mengandung anak pertamanya dan perkataan orang tadi selalu mengiangiang di telinganya.

Pada waktu akan melahirkan Boru SIHOTANG Na Uli pernah bermimpi ada seorang tua datang padanya dan mengatakan bahwa yang akan lahir darinya adalah bayi laki – laki yang memiliki kesaktian sebab itu tidak perlu kuatir atau kecewa apabila nantinya ada yang agak berbeda pada tubuhnya. Mimpinya ini diberitahukan pada suaminya dan mereka berdua merasa was – was menantikan kelahiran anak pertama mereka.

Tibalah harinya, setelah bersalin diketahui bahwa sang bayi memiliki bentuk tulang punggung lebih panjang sekitar satu jari telunjuk dari bokongnya tampak seperti ekor yang pendek. Dan saat itu RAJA HUTABULU melirik keluar jendela rumahnya, tampak ada seorang tua berdiri di halaman rumahnya dan berkata; “Hei bapak, jangan bersusah hati karena anakmu itu adalah seorang anak sakti” (versi Toba; “He amang, unang ho marsak alana anakmi nahasaktian”). Setelah berkata demikian orang itu berubah menjadi londok dan langsung memanjat pohon enau kemudian hilang di antara pelepah enau. RAJA HUTABULU spontan berteriak; “Raja Hodong..Raja Hodong..Raja Odong..” (versi Toba; “Raja Pelepah..Raja Pelepah..Raja Pelepah..”). Setelah peristia itu bayi pertama itu pun diberi nama SI RAJA ODONG. Secara fisik SI RAJA ODONG sangat tampan rupanya sebab ibunya cantik dan ayahnya tampan dan gagah.

SI RAJA ODONG makin bertambah besar dan pada waktu dia belajar duduk ayahnya membuatkan bangku pendek yang ditengahnya dilubangi tempat tulang SI RAJA ODONG yang seperti ekor itu. Tidak banyak orang yang mengetahui keanehan ini karena masa itu belum ada celana. Pakaian orang Batak adalah ulos yang dililitkan menutupi badan yang disebut heba heba.

Menurut penyelidikan antropologi budaya Batak Toba, maka sejak keberadaannya orang Batak tidak pernah bertelanjang karena ulos Batak sama usianya sejak adanya SI RAJA BATAK (orang Batak pertama). Sebelum Belanda datang ke tanah Batak, maka ulos Batak dipakai sehari – hari sebagai berikut:

- Ulos yang menutupi badan disebut heba heba.

- Ulos yang menutupi bahu ke bawah disebut hande hande yang juga sering disandangkan di bahu.

- Ulos penutup kepala disebut saong saong dan bila diikatkan di kepala maka disebut bulang bulang atau tali tali.

Tingkat budaya berpakaian pada masa itu membuat SI RAJA ODONG tidak merasa asing atau minder jika bersosialisasi dengan orang lain. Hanya keluarga dekat saja yang mengetahui kelebihan SI RAJA ODONG ini.

Setelah beberapa tahun kemudian istri RAJA HUTABULU kembali mengandung dan selama mengandung dia selalu memohon tuah agar MULA JADI NA BOLON (Tuhan) memberikan seorang anak laki – laki lagi tetapi yang tidak mempunyai keanehan. Doanya pun terkabul dan lahirlah seorang anak laki – laki yang rupanya sama persis seperti abangnya. Bahkan setelah dewasa kedua anak RAJA HUTABULU ini sama besarnya dan banyak orang menyangka keduanya adalah saudara kembar. Begitu lahir dan ternyata bayinya laki – laki maka dia diberi nama TUMONGGO TUA yang bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia artinya ‘memohon tuah melalui doa’.

Setelah kedua anak ini semakin dewasa mereka kelihatan tampan dan gagah melebihi ayah mereka. Banyak gadis yang tertarik dan jatuh cinta pada mereka. Tetapi apabila berkenalan lebih jauh dengan keduanya maka akan diketahui bahwa SI RAJA ODONG memiliki perbedaan dengan adiknya.

Setelah sekian lama saling mencinta dengan Boru SIHOTANG paribannya, TUMONGGO TUA ingin segera menikah. Namun orang tuanya menganjurkan kalau dia boleh menikah setelah abangnya menikah. Satu – satunya cara agar TUMONGGO TUA dapat segera menikah adalah dengan mencarikan seorang calon istri bagi abangnya. Lalu berangkatlah TUMONGGO TUA dengan sampan ke pulau Samosir. Di sana konon banyak gadis yang sampai berumur tua belum menikah karena ketatnya hukum bersaudara. Bagi kesatuan marga keturunan NAIAMBATON yang banyak bermukim di Samosir sampai sekarang masih tetap mempertahankan tradisi tidak boleh saling menikah antar sesama keturunan marga – marga NAIAMBATON.

Selama di atas sampan dalam perjalanannya TUMONGGO TUA selalu memohon kepada MULA JADI NA BOLON supaya dia bertemu dengan seorang gadis cantik untuk dilamar menjadi kakak ipar (angkang boru). Ketika berada di tengah danau Toba tiba – tiba angin bertiup kencang sekali (alogo lubis) dan menghantam sampannya hingga sampannya hancur. Dia mencoba sekuat tenaga berenang mencapai daratan dan berhasil. Setelah berada di tepi danau Toba dia tak sadarkan diri dan pingsan.

Ombak berdebur laksana irama musik yang menyambut kedatangan TUMONGGO TUA di situ di daerah Lontung, yaitu di Muara (sekarang persis di tempat pemandian Puteri RAJA SIANTURI). Dia terbaring hingga sore hari dia ditemukan oleh SI BORU ULI BASA Boru SIANTURI yang hendak mengambil kain cucian yang dijemur di tepi danau. Setelah melihat pemuda tampan itu BORU ULI BASA berkata; “Kalau kamu memang manusia, siapakah namamu? Kalau kamu seorang yang memiliki kesaktian maafkan aku tidak bermaksud menggangumu, tetapi kalau kamu manusia aku mau mendampingimu seandainya kamu membawaku pergi bersamamu dan aku menjadi istrimu” (versi Toba; “Molo na jolma do ho paboa ise goarmu. Molo na martua – tua do ho unangma muruk ho tu ahu ala ndang na manggugai ho ahu, alai molo jolma do ho olo do ahu mandongani ho aut tung olo ho mamboan ahu tu hutam gabe inantam”).

Samar – samar perkataan itu didengar oleh TUMONGGO TUA yang mulai siuman. Lalu dia mulai membuka matanya perlahan dan melihat ada seorang gadis cantik jelita di sebelahnya. Dia langsung mengucek matanya seakan tidak percaya akan apa yang dilihatnya kemudian dengan suara pelan dia berkata; “Apakah ini mimpi aku berada di sebelah puteri yang cantik. Sekiranya bukan mimpi apa gadis ini mau kalau aku membawanya menjadi menantu orang tuaku? (versi Toba; “Na marnipi do ahu nuaeng di lambung ni si boru na uli basa? Aut sura na so marnipi do ahu oloma nian boanonhu gabe parumaen ni damang dohot dainang”).

Mendengar ucapan itu BORU ULI BASA langsung memegang tangan TUMONGGO TUA lalu membangunkannya dan menuntun dia berjalan menuju rumah orang tua BORU ULI BASA sebab hari sudah sore. Sesampainya di rumah, keluarga BORU ULI BASA bergembira kedatangan tamu seorang pemuda yang tampan dan gagah. Dalam percakapan dengan orang tua BORU ULI BASA, TUMONGGO TUA memperkenalkan diri dan menjelaskan bahwa dia adalah cucu RAJA MARSUNDUNG SIMANJUNTAK dan anak RAJA HUTABULU dari Balige. Dia juga menjelaskan bagaimana dia bisa ada di sana dan apa maksud dari perjalanan jauhnya itu. Mendengar penjelasan itu BORU ULI BASA merasa gembira dalam hatinya dia terpikat akan ketampanan TUMONGGO TUA.

Setelah beberapa hari tinggal di daerah Lontung tejadi pembicaraan antara TUMONGGO TUA dan BORU ULI BASA yang intinya tentang kesediaan BORU ULI BASA agar menjadi menantu bagi orang tua TUMONGGO TUA. Jawaban dari BORU ULI BASA sangat jelas, yaitu dia mau dan bersedia. Akan tetapi sebaliknya apabila TUMONGGO TUA mendapat pertanyaan yang sama dia tidak menjawab secara jelas bersedia namun dia menjawab pertanyaan itu dengan perkataan; “Tatap wajahku dan perhatikanlah langkahku serta ketahuilah maksud kedatanganku” (versi Toba; “Berengma bohiku jala parateatehonma pardalanhu huhut antusima sangkap ni haroroku”).

BORU ULI BASA memang calon menantu RAJA HUTABULU tetapi bukan untuk menjadi istri bagi TUMONGGO TUA. Memang RAJA ODONG dan TUMONGGO TUA sangat mirip seperti saudara kembar disegala – galanya baik dilihat dari rupa, cara berjalan bahkan juga cara berbicara dan dari suara semuanya sama. Sangat sulit membedakan keduanya kecuali ini; RAJA ODONG memiliki kelebihan tulang belakang sepanjang jari telunjuk. Perbedaan mereka ini dirahasiakan TUMONGGO TUA demi harapan dia bisa direstui menikah setelah abangnya menikah.

Setelah berjanji bahwa mereka akan kembali bertemu, TUMONGGO TUA pamit dengan keluarga BORU ULI BASA untuk pulang ke Balige dan nanti dia akan kembali datang bersama orang tuanya melamar BORU ULI BASA.

Setibanya di Balige TUMONGGO TUA menceritakan perjalanannya kepada abang dan orang tuanya. Kemudian mereka menyusun rencana:

- TUMONGGO TUA dan orang tuanya segera melamar puteri RAJA SILALA LASIAK yaitu BORU ULI BASA dan selama mereka di sana sepanjang pembicaraan tidak boleh memanggil TUMONGGO TUA dengan namanya tetapi dengan nama SIMANJUNTAK.

- Pesta pernikahan diadakan di rumah pihak pengantin wanita (dialap jual) dan yang mendampingi BORU ULI BASA dalam acara adat sepenuh itu (ulaon na gok) adalah TUMONGGO TUA hingga dalam perjalanan di danau Toba sampai Balige. Bila sudah tiba di dermaga maka TUMONGGO TUA turun dari perahu besar (solu bolon) dan mengikatkan tali perahu di dermaga. Bersamaan dengan itu RAJA ODONG sudah siap dan sesuai tanda RAJA ODONG langsung menggantikan posisi adiknya naik ke perahu untuk menuntun BORU ULI BASA dan seterusnya mendampinginya menjadi suami bagi BORU ULI BASA.

- Pakaian yang dikenakan kedua abang beradik ini harus dibuat sama persis. Setelah mengikatkan tali perahu di dermaga maka TUMONGGO TUA harus menghilang untuk sementara waktu dan pergi ke daerah Si Raja Oloan dan tinggal di sana di rumah Tulangnya sampai BORU ULI BASA melahirkan anak pertamanya bagi RAJA ODONG.

Setelah rencana itu disepakati maka ditentukanlah kapan mereka akan berangkat. Rencana pun dilaksanakan dan pesta pernikahan meriah di daerah Muara berlangsung mulus sesuai rencana. Setelah itu mereka bertolak pulang menuju Balige melalui danau Toba. Sesampainya di dermaga di Balige yaitu tepatnya di Lumban Bul Bul sekira jam tujuh malam dan keadaan seperti ini dalam bahasa Batak Toba disebut urngum (jarak pandang mata tidak lagi memungkinkan melihat orang di kejauhan).

Di dermaga RAJA ODONG telah menunggu kedatangan rombongan keluarganya bersama BORU ULI BASA. Setelah perahu besar itu tiba dan merapat ke dermaga, turunlah TUMONGGO TUA untuk mengikatkan tali perahu lalu langsung pergi menghilang di kegelapan dan kemudian RAJA ODONG langsung naik ke perahu menjemput BORU ULI BASA serta berjalan berdampingan sampai ke rumah RAJA HUTABULU. Malam itu diadakan acara penyambutan (pangharoanion). Mulai saat itu RAJA ODONG yang mendampingi BORU ULI BASA, sedangkan adiknya sudah pergi sesuai rencana ke rumah Tulangnya.

Begitulah kisah pernikahan RAJA ODONG dengan BORU ULI BASA Boru SIANTURI sehingga ada sindiran seperti ini:

“Si RAJA ODONG papiu piu tali, tali ijuk sian bagot. Anggina manandangi, alai ibana diharoani jala mandapot”

Pekerjaan sehari – hari RAJA ODONG adalah memintal tali yang dibuat dari ijuk pohon enau. Konon pada masa itu, tali buatan RAJA ODONG ini paling baik kualitasnya dan harga jualnya tinggi di pasar Balige dan Laguboti bahkan sampai ke Porsea dan Siborong Borong. RAJA ODONG selalu duduk di bangku khusus yang berlubang di tengahnya dan kemanapun dia pergi bangku itu selalu dibawanya.

Sejak menikah dengan RAJA ODONG, BORU ULI BASA tidak pernah bekerja di sawah. Pekerjaannya adalah menggembalakan kambing. Ternak kambingnya gemuk – gemuk dan jika beranak sering sampai tiga atau empat sehingga keluarga RAJA ODONG memiliki banyak sekali ternak kambing.

Kemudian bayi pertama lahir bagi keluarga RAJA ODONG dan anak pertama mereka ini diberi nama RAJA BOLAK HAMBING atau RAJA PARHAMBING. Demikianlah seterusnya mereka dikaruniai tujuh orang anak laki – laki:

1. RAJA BOLAK HAMBING (RAJA PARHAMBING)

2. TUAN NAHODA RAJA

3. MAHARIA RAJA (MANGORONG BAHUT)

4. RAJA MARLEANG (MARLEANG BOSI)

5. RAJA MANORHAP (RAJA SITUNGGAL)

6. RAJA MAEGA gelar Ompu TOGA OLOAN

7, DINGKIR ULUBALANG gelar PARTAHI OLOAN (DATU MAEGA)

Namun sampai sekarang baru keturunan RAJA PARHAMBING dan TUAN NAHODA RAJA saja yang sudah mengetahui bahwa mereka adalah keturunan dari RAJA ODONG.

Tentang TUMONGGO TUA, setelah berita kelahiran anak pertama RAJA ODONG abangnya sampai kepadanya, betapa bahagianya dia dan paribannya. Lalu setelah mendengar kabar baik itu mereka berdua datang berkunjung ke Balige dan memastikan bahwa rombongan RAJA HUTABULU akan pergi melamar Boru SIHOTANG (pariban TUMONGGO TUA tersebut).


http://simanjuntak.or.id/2008/01/08/cerita-tentang-simanjuntak/
Lihat Selanjutnya - CERITA SIMANJUNTAK

Kamis, 26 Januari 2012

Arsitek - Arsitek Modern

BAGIAN I
LE CORBUSIER

          Le Corbusier sebagai master  pada  perkembangan arsitektur modern, merupakan orang yang kreatif, peka, dan idealis. Kepribadiannya bersifat dualisme, rasional dan irrasional-subjectif dan objektif. Berbagai ulasan dan kritik dilontarkan hingga karya-karyanya dapat disebut berada pada dua kutup ekstrim. Le Corbusier tetap dengan pendiriannya ia menganggap  dirinya sebagai rasionalis dan ilmuan (saintis). Penilaian fungsional dari awal sampai akhir dan rasional dibagian akhir.
 
          Dan karyanya La Ville  Radieose, kita melihat  nilai universal (teknologi) dan pilihan kultural (subyektifitas - Perancis); demikian juga pada kota Chandigarh (India) nilai-nilai tersebut tetap hadir. Beberapa hal yang dapat dilihat dari karya - karyanya adalah Le Corbusier tidak memperhatikan pengaruh lain yang mungkin menentukan rencana kota. Dia hanya  mengekspresikan semangat kehidupan masyarakat melalui designnya.
 
          Salah satu karyanya  yang ekspresif  adalah arsitektur  Ronchamp Chapel. Disini  jelas Le Corbusier memasukkan ekspresi sensualitas dan  monumentalitas. Seperti kepribadiannya, Le Corbusier tidak  pernah ada pada satu kutup ekstrim (selalu pada dua  kutup ekstrim). Juga  dijamannya (modern) dimana orang mendewakan teknologi, Le Corbusier menyerang aliran-aliran yang menomorsatukan utilitas dan ratio murni – nilai estetika dipertanyakan yang mewujudkan komitmennya akan nilai universal dan subyektif.

Renchamp Chapel 
          Sebagai seorang seniman (pendatang), Le  Corbusier menggunakan analogi romantik dalam mengeluarkan tanggapan emosional dari dalam  dirinya melalui bangunan-bangunannya. Penerapan ilmu geometri (matematika) sebagai dasar penting bagi Le Corbusier dalam pengambilan keputusan (analogi matematis). Teori ini dapat dilihat pada bangunan Renchamp Chapel - bentuk geometris pada dinding dan atap bangunan dengan bentuk kurva  yang geometris tersebut, Le Corbusier memperlihatkan suatu teknik pencahayaan  interior bangunan  yang baik, melalui kombinasi seluruh bukaan-bukaan (jendela) lateral.

Ekspresi tersebut dinyatakan sebagai berikut :
1.  Bentuk Sculptur dari kapel.
Suatu bentuk yang brutal (brutalism), dengan penggunaan bahan-bahan beton di ekspos, menimbulkan kesan kasar, tidak selesai, kontras, dan polos tanpa warna. 
2. Lukisan-lukisan pada  dinding bangunan, dengan permainan sinar didalam bangunan yang mempengaruhi efek visual suatu lukisan.
3.  Arsitektur, dengan permainan  3  elemen utama arsitektur, yaitu atap, dinding, dan lantai.

          Pada bangunan ini, efek visual dari bentuk bangunan menimbulkan asosiasi-asosiasi, seperti yang diungkapkan oleh Francoise Choay dalam bukunya tentang Le Corbusier dimana Ronchamp Chapel diasosiasikan sebagai menara pengawas di hamparan kaki bukit (analogi linguistik). Suatu fenomena 'visual acouistics' terbentuk raja bangunan ini. Bentuk-bentuk yang membuat keributan namun terkadang diam membisu.

BAGlAN II 
ALVAR  AALTO

        Alvar Aalto berasal dari Finlandia yang menjadi karakteristik pribadinya. Designnya  memberi ekspresi dengan karakteristik Finlandia tersebut. Karya  Alvar Aalto meliputi arsitektur, mebel, kaca, dan tekstil. Aalto juga menghasilkan konsep yang luas  menyangkut perumahan,  kota, dan perencanaan daerah. Pribadi Aalto berkebalikan dengan  Le Corbusier ; cenderung santai dan mengalir daripada kasar dan bergelora, tenang daripada terus  terang.  Dia hampir tidak berniat atas
keterlibatannya dengan dunia modem.

        Dalam meringkas keseluruhan karya seorang arsitek dapat dilihat dari "imej"-nya. Aalto menganggap arsitektur adalah suatu  tempat dimana suatu  sistem berhubungan dengan sistem lainnya. Misalnya dinding yang menembus dengan atap dan atap menerus dengan langit. Aalto mempunyai obsesi untuk memperlihatkan suatu yang kontras. Bahasa arsitektural yang dikembangkan oleh Aalto sangat kaya dan menggunakan arti-arti ekspresif secara keseluruhan (totalitas). Kekayaan disini
berarti kekayaan nilai (makna).
 
        Pertemuannya dengan Herry dan Mairea Gullicchson memberikan kesempatan padanya  menuju produksi industri. Aalto kemudian mendesign mebel untuk produknya. Dari sinilah Aalto mengenal dan kembali menghargai kayu sebagai bahan ekspresinya diatas beton. Menurut Aalto  masalah arsitektural yang paling sulit adalah membentuk lingkungan  sekitar bangunan kedalam skala manusia. Lahan yang tersisa sebaiknya tidak diolah hanya  sebagai taman melainkan  pergerakan organik dari manusia dapat bersesuaian  dengan bentuk tapak (site), sehingga didapat hubungan  yang erat antara manusia arsitektur.  Dalam 'Paris Pavillion' masalah ini dapat diselesaikan. Pendekatan  organik dari manusia diterapkan  Aalto pada detailnya. Viipuri Library dan Paimio Sanatorium. Meskipun dibangun dengan beton bertulang, tetapi Aalto tetap memberikan waktu  untuk memperluas dengan aturan  fungsionals dengan tujuan untuk mencukupi baik kebutuhan fisik maupun psikis.

       Perhatiannya pada modifikasi alam dari lingkungan dan pada indistrik tapak memberikan kesinambungan karya-karya unik dari periode fungsionalis. Sekitar Tahun 1920 dan pada fase yang  lebih ekspresif pada sekitar tahun 1950. Sebagai gambaran dari sikap anti mekanistik, Aalto menyatakan bahwa membuat arsitektur yang lebih baik ini  lebih berarti fungsional daripada hanya sekedar teknikal. Hal ini dapat dicapai kehidupan yang harmonis bagi manusia. 

        Aalto mempunyai konsep dualistis mengenai penciptaan arstitektur. Menurut Aalto aristektur memerlukan waktu  yang lama untuk  berkembang dan perkembangannya dapat terjadi pada dua tempat yang berbeda. Penerapannya pada “Saynatsalo Town Hall” dan ‘Villa Mairea’. Aalto berusaha memuaskan kriteria sosial dan psikologi dan secara efektif menjauhkan diri dari  dragmatik aliran fungsionalis disekitar tahun 1920.   Aalto juga memuaskan perhatiannya pada kreasi  lingkungan yang akan menghasilkan kebaikan manusiawi (human well being).


BAGIAN III
MIES VAN DER RORE

        Seperti hanya membicarakan Le Corbusuier dan lainnya, sangat penting kita  ketahui latar belakang kehidupan Mies  untuk mengetahui pandangannya tentang arsitektur. Mies Van der Rohe menyakini bahwa sebuah benda adalah sebuah simbol dari realitas yang tersembunyi. Arsitektur menurut pandangannya adalah semangat dan keinginan untuk menerjemahkan zaman  kedalam ruang esensi dari teknologi modern, merupakan bagian penting yang  harus bermakna dalam karya arsitektur. Hal  ini terungkap  karena pemikirannya bahwa  teknologi dalah ungkapan intelektualitas manusia modern dan teknologilah yang mendominasi kecendrungan mendatang.

        Pada sekitar tahun 1919 Mies mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari masalah modern design, setelah sebelumnya memakai gaya neo classic.
Tiga tema pokok dalam rancangan adalah : 
  1. Pengaruh kaca sebagai pelindung 
  2. Penekanan bangunan dengan arah horizontal
  3. Pengembangan bangunan sesuai dengan fungsi.
 Konsep yang dikembangkan adalah flowing space (ruang mengalir) seperti yang terlihat pada karyanya: German PavilIon International Exhibition di Barcelona (1929) dan Tugendhat House (1930), dengan ciri-ciri : 
  1. Pembagian riuang dengan dinding berdiri sendiri
  2. Atap ditopang oleh kolom baja
  3. Pembagian ruang dengan partisi merupakan perwujudan idenya tentang flexibility (ruang flreksibel)
  4. Penggunaan bahan yang mahal pada partisi.
 Konsep-konsep Mies yang terpenting yang dipakai dalam merancang : 
    1. Konsep ruang tunggal (Universal Space) Merupakan pengembangan dari konsep flowing space yaitu ruang-ruang universal yang terbagi oleh partisi dengan kolom bagian sisi sehingga rating bebas kolom.
    2. Penggunaan bahan baja sebagai struktur utama mencerminkan suatu kesederhanaan dari bentuk-bentuk persegi panjang.  Kesederhanaan itu sendiri bukan suatu kesederhanaan yang tidak bernilai tetapi suatu kesederhanan yang berlandaskan suatu pemikiran untuk mremecahkan masalah lebih sederhana lagi rang terkenal dengan semboyan 'Less is More'. 

        Menurut pandangan Charles Jends,  Mies menuntut orang menilai bangunannya secara sempurna seperti halnya pandangan Plato.

Pandangan-pandangan lain oleh beberapa ahli: 
          Lewis Numford  :  Karya Mies tidak dapat dinilai pada tingkat harfiah, ia harus dinilai bagaikan sebuah puisi. Karena penilaian harfiah akan membuka  kelemahan pada karyanya.
          Sigfried Gidieon  :  Karyanya  membawa esensi kualitas tiap  material dan detail konstruksi yang diolah sehingga mencapai tingkat yang menakjubkan.

          William Jordi :  Karyanya  merupakan hasil kesempurnaan visual dan berhasil memecahkan persoalan sudut massa bangunannya.

          Peter & Allison Smithson  :  Keabadian penampilan kulit bangunannya yang netral dengan struktur ruang terbuka dari tiap lay outnya. Bentuk dan  ruangnya  universal, dapat dimanfaatkan bagi segala keinginannya.
 
          Paul Rudolf  :  Bangunan  Mies menakjubkan hanya karena ia mengabaikan banyak aspek dari bangunan.
 
Salah  satu karyanya, Farmworth House  - rumah tempat peristirahatan  Dr. Fannworth. Bangunan dibuat kontras dengan lingkungan, dengan bentuk giometris, pilihan warna (putih) serta bidang sejajar besar yang mencerminkan ruang terbuka. Bangunan ini menonjolkan teknologi dengan bidang kaca yang besar serta struktur baja I sebagai pendukung dan pembagi visual. Baja dan kaca tidak dirubah,  tetap seperti aslinya (machine fonn), dengan kepandaiannya mengolah maka semua unsur terpadu menjadi sebuah karya monumental yang elegan.

B. Landasan Teori dan Sejarah Bangunan 
        Seagram Building didirikan pada tahun 1954-1958, sebagai pusat bisnis New York yang disesuaikan dengan kelas sosial pengguna bangunan. Bangunan ini lahir atas tuntutan zaman modern yang begitu canggih dan menginginkan status  sosial yang berkelas, sehingga memacu semangat Mies untuk menciptakan suatu karya arsitektural yang spektakular dengan berpedoman kepada : 
  1. Adaptasi gaya bangunan untuk mengekspresikan imej dari kelas sosial pengguna bangunan dengan tidak mengabaikan semboyan "Less is More".
  2. Sederhana clan anggun,  tetapi tetap mencerminkan sesuatu rang  glamor clan selalu gemerlapan.
  3. Blok-blok rectanguler. 
  4. Keseragaman (uniformity) clan Monumental (Monumentality).
       Mies tetap eksisi terhadap imajinasi dunia platonik-nya dengan tidak memikirkan hubungan site, iklim, aktivitas internal, di dalam mendesain bangunan. Mies lebih mengutamakan integritas bangunan tehadap lingkungannya  serta mengeksploitasi sentuhan teknologi modern dan penggunaan material bangunan.

C. Seagram Building, New York 1954-1958 
        Langgam  modernisme awal (dianut oleh Wright pada awal karirnya) telah memudar,  namun pengaruh medernisme  akhir Eropah akhirnya  mampu untuk membangkitkan  kembali, sehingga periode pencakar langit yang dulu sempat mati dan menemui jalan buntu tepatnya pada peralihan abad ke-20, mekar dan tumbuh kembali serta mengadakan transpormasi di tangan Mies Van De Rohe.
 
        Seagram Building, New York (1954-1958) adalah gedung pencakar langit yang lahir pada abad ke-20. Bangunan di dirancang oleh Mies bersama-sama dengan Philip Jonhson yang menata interior ruang dalamnya. Tower Seagram Building terdiri ats 38 tingkat dengan luas 520 feet persegi tiap  lantai dan hanya menempati 25% dari sitenya. Bagian podium yang tingginya relatif rendah (4-10 lantai) ditempatkan pada bagian belakang seperti tulang punggung yang  kelihatan rectangular dan berdiri sendiri dengan sebuah blok plaza yang mengelilinginya, seolah-olah menjadi pengiring yang selalu siap untuk mendampingi tower utama. Kanopi yang menjorok ke luar, seolah-olah memberikan perlindungan dan  ucapan 'selamat datang' bagi para pengunjung.
 
        Seagram Building yang berbentuk Platonik, terdiri atas modul-modul berupa grid kaiak-kaiak berulang yang  biasanya menimbulkan kekakuan, namun pada bangunan ini justru tampak lebih luwes dan seimbang. Sebagai konsekuensi, terlihat ua modul  persegi yang terdapat  pada jendela dan setengah modul persegi yang terdapat pada jendela dan  setengah modul persegi terdapat pada panelspandrel yang terlihat proposional, kesemuanya  tertuang pada fasade bangunan. Bangunan material seperti perunggu dan kaca tinta tipis (sheer tint glass), travertine, granit, keseluruhannya adalah untuk menciptakan imej modem dan mahal.
 
        Pada Seagram Building, Mies berusaha untuk mengurangi dimensi yang ada dengan memperindah bentuk beam, serta menjadikan kolom profit sebagai kerangga dinding tirai yang berfungsi sebagai rangka mullion dengan jarak  yang rapat dan disusun  dari tepi ke  tepi, dari  atas ke bawah  hingga meliputi seluruh fasade bangunan. Setiap detail, termasuk lift,  tangga, perlengkapan pencahayaan,  handle pintu, kaiak  surat dari  perunggu, semuanya didesain  dengan penuh  kehati-hatian.
 
         Fokus  utama adalah dinding tirai (curtain wall) dengan detail-detail pada tiap sudutnya. Dinding sengaja dibuat tidak menutupi sudut dengan tujuan agar bagian pier sudutnya terekspos, sehingga secara visual, sudut bangunan itu menunjukkan kekokohan  tradisional. Disisi  lain, dinding tirai kelihatan seolah-olah tebal seperti ketebalan fluting pada pier dan I-beam, sehingga tepi sudut seolah-olah kelihatan seperti relief skliptural. Optical  Refinement terdapat pada panel spandrel  yang
berbentuk relief tangga dan  figura jendela. Dari semua  itu, dapat dikatakan bahwa keberhasilan Mies Van De Rohe di dalam mengolah fasade bangunan, dimana kolom struktur profil yang sesungguhnya dibalut dengan chasing beton ditempatkan berdiri agak ke dalam, kolom sudut yang semu, ketebalan dinding tirai (curtain wall) yang setebal kusen jendela, tidak seperti yang  dikesankan oleh dua lapis flute  yang ternyata palsu, - terletak pada kepiawaiannya mengolah setiap detail sudut  pada Seagram Building.

D. Kritik dan Pandangan Arsitektural 
         Seagram Building sebagai salah satu bangunan pencakar langit didesain sesuai dengan bentuk International Style, terdiri atas  pola grid berulang sehingga tampak kokoh. Imej  kuat dan  kokoh yang seharusnya tampak menonjol padabangunan ini menjadi rancu pengertiannya dengan penggunaan dinding tirai (curtain wall) sebagai cladingnya. Mungkin Mies  tetap memegang teguh prinsip perbaikan visual (visual refinement) dengan penggunaan clading kaca dan bukan  keramik, manner atau beton. Namun disisi lain, imej kuat dan kokoh menjadi tidak konsekuen dengan sendirinya. Sedangkan  visual refinement yang diinginkan Mies untuk menimbulan kesan yang dramatis, sampai sejauh ini belum dapat memecahkan efek visual bentuk geometris sudut interior Seagram Building.
 
         Aksi pembebanan yang kacau balau tampak pada kolom yang  tidak  teratur, kalang kabut kadang renggang, merupakan hal yang kritis sekali bagi Mies. Bentuk-bentuk struktural hanya digunakan  sebagi dekorasi saja  dengan maksud rang sama seperti Romawi yang menggunakan sistem struktur Yunani yaitu kolom dan kepala kolom (entablatur). Arsitektur Mies memiliki analogi klasik  dalam
penggunaan kolom-kolom rigid, keteraturan, kesederhanaan, yang ditampilkan dalam fasade bangunan, tonggak-tonggak, dan lintel konstruksi.

Seagram Building, New York 1954-1958 


Lihat Selanjutnya - Arsitek - Arsitek Modern

Fisika Bangunan

Fisika bangunan                                                                                      
Yang dimaksud dengan Ilmu Fisika Bangunan adalah : Ilmu yang mempelajari keadaan ruang (sifat/kondisi fisik, non emosional) di dalam bangunan yang dapat ditangkap atau dirasakan oleh indera manusia, yang meliputi:
1.      Penciuman : berbagai aroma yang dapat dideteksi oleh hidung.
2.      Penglihatan : meliputi berbagai ujud, textur, warna yang dapat ditangkap oleh mata. Hal ini bisa terjadi bila ada cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda tersebut. Kalau tidak ada cahaya atau gelap gulita, maka tidak akan ada benda yang kelihatan.
3.      Pendengaran   : berkaitan dengan suara dan telinga
4.      Peraba : berbagai keadaan yang dapat dirasakan oleh kulit manusia, keras-lunak, panas-dingin, basah-kering dan lainsebagainya. Sebagian besar yang dirasakan manusia melalui media udara.
5.      Perasa  : berbagai rasa yang dideteksi oleh lidah manusia, jadi hanya khusus untuk benda yang dimakan
Dari kelima hal yang dapat dirasakan oleh panca indra manusia tersebut hanya rasa yang tidak dibahas dalam fisika bangunan, karena rasa disini hanya berkaitan dengan lidah. Jadi hanya barang-barang yang dimakan oleh manusia saja yang dapat dirasakan. Sedang aspek lain (penciuman, penglihatan, pendengaran dan peraba) dapat mempengaruhi dan dirasakan oleh manusia di dalam ruang. Interaksi antara kondisi ruang tersebut dapat melewati media udara. Alat-alat peraba kita (yang berada pada semua permukaan kulit) dapat merasakan panas, dingin, dan sebagainya, dengan media udara. Jadi yang dimaksud dengan Fisika Bangunan di sini, bukanlah fisik dari bangunan itu sendiri, melainkan kondisi fisik pada ruang yang dilingkupi oleh bangunan itu sendiri. Dan perlu diketahui pula bahwa bangunan di sini tidak berarti gedung yang tertutup rapat, melainkan dapat pula berbentuk setengah terbuka, tanpa atap, atau tanpa dinding. Yang penting kesan adanya ruang sudah terjadi. 

Permasalahan
1.  Angin
Arah  dan  kecepatan  angin  adalah  pertimbangan  penting  pada  sebuah  tapak  disemua  iklim.  Variasi  angin  musiman  dan  harian  harus  dipertimbangkan  secara  hati-hati  dalam  mengevaluasi  potensi  untuk  ventilasi ke  interior ruangan dan ruangan dan halaman  luar gedung pada  saat  cuaca  panass,  menyebabkan  kehilangan  panas  pada  saat  cuacu  dingin dan akan mempengaruhi beban lateral pada struktur bangunan.
a. Angin antar benua dan samudera serta akibatnya.  Angin antar benua/samudera adalah penyebab utama andanya siklus musim kemarau dan musim hujan didaerah-daerah.
·        Kecenderungan udara untuk mengalir dari tempat bertekanan tinggi kearah yang bertekanan rendah.
·        Kecenderungan angin-angin dari daerah-daerah lintang utara untuk berserong ke kanan bila mengalir ke khatulistiwa.

c. Tekanan dan hisapan angin
Ada  dua  kekuatan  yang  dapat  mengena  rumah  dari  angin,  yaitu  tekanan angin (beban positif) dan hisapan angin (beban negatif).  Tekanan angin bisa dirasakan disebelah sisi angin datang dan hisapan  terasa pada sisi angin pergi.

Akibat desakan angin pada bagian dinding  yang mendesak terus kerangka balok, nok kuda-kuda atap dan pendukung. Garis lengkung yang digambar adalah  kecenderungan balok-balok untuk melengkung akibat desakan dinding. 

 
2.  Gempa
a.  Peta gempa bumi
Susunan bola bumi :
·        Inti bagian dalam
·        Inti bagian luar
·        Daging bumi
·        Kulit bumi
Sebab utama yang menimbulkan  gempa bumi :
§         Pendinginan kulit bumi yang disertai pengeriputan.
§         Akibat erosi kulit bumi dan pengendapannya.
§         Terurainya radioaktif dalam inti bumi.

b.  Getaran gempa bumi
Ada 3 getaran gempa :
  • Gelombang  Longitudinal  yaitu  gelombang  yang  menggerakkan  bahan  yang  dilaluinya  bergetar  maju-mundur  atau  kian  kemari  berhimpitan  dengan  arah  rambatan  gelombang.  Disebut  juga  gelompang P (primary wave).
  • Gelombang  Transversal  yaitu  yang  bergerak  tegak  lurus  terhadap  arah  rambatan gelombang. Disebut  juga gelombang S  (secondary wave).

 
  • Gelombang  yang  berjalan  pada  permukaan  tanah.  Disebut  gelombang L (large wave).

c.  Saran-saran bangunan tahan gempa
Catatan-catatan Tropical building section dari Building Research Station di garden England menyarankan sebagai berikut :
  • Bangunan-bangunan  berkerangka  kayu,  karena  kayu  adalah  meterial yang kuat dan cukup elastis.
  • Kekuatan pasangan batu atau bata  sebagian  terbesar  tergantung  dari perekatnya.
  • Dinding-dinding tanah dari tanah liat selalu roboh.
  • Pilar-pilar  atau  tiang-tiang  dari  bata  atau  batu  tak  bertulang  seumunnya berbahaya.
  • Dalam  bangunan-bangunan  berkerangka,  dinding-dinding  panel  mudah lepas dari frame bila tidak diikat kuat.
  • Alas  yang  baik  adalah  penting  dan  dalam  daerah-daerah  kaya  gempa mereka harus diikat kontinyu dengan besi
  • Dinding-dinding  hiasan,  plesteran-plesteran  dan  bagian-bagian  bangunan yang lepas sangat mudah jatuh.
  • Bangunan-banguan  yang  dibangun  dengan  tingkat  bawah  yang  berat,  tingkat  atas  yang  ringan  dengan  atap  yang  ringan  lebih
  • bertahan dari pada bangunan-bangunan dengan atap-atap berat  dan dinding-dinding ringan.

Pencahayaan alami (penerangan alami siang hari) 
Pencahayaan  alami  ini  memberi  manfaat  psikologi  disamping  kegunaan  praktis  berupa  pengurangan  energi  untuk  pencahayaan  buatan.  Intensitas  sinar matahari berubah sesuai dengan waktu, musim dan lokasi. Intensitas sinar  matahari  berubah  sesuai  dengan  waktu,  musim  dan  lokasi.  Senar  matahari  dapat dibaurkan oleh awan,  kabut dan  uap air dan dipantulkan dari  tanah  atau permukaan lain yang berada disekitar bangunan.  

1.  Macam-macam sinar matahari
a.  Macam-macam sinar
·        Ultra Violet (jingga ultra)
·        Infra merah (infrared)
·        Adalah  pembawa  utama  daya  kalor  dari  matahari.  Sinar  ini merupakan sinar panas yang menjadi syarat mutlak kehidupan dan penghidupan makhluk-makhluk bumi.
·        Cahaya terang
·        Sinar kosmik (kosmos = semesta alam)
            2.  Terang alami
Terang yang berasal dari matahari.
a. Terang secara langsung



           
                  1)  Cahaya langsung dari matahari pada bidang kerja.
2)  Cahaya pantulan dari benda-benda sekitar.
3)   Cahaya pantulan dari halaman, yang untuk kedua kalin dipantulkan oleh langit-langit dan/atau dinding ke arah bidang kerja.
4)  Cahaya yang jatuh dilantai dan dipantulkan lagi oleh langit-langit.

 b.  Terang secara tidak langsung yaitu sebagai pantulan cahaya matahari  oleh awan-awan serta benda-benda yang berada di sekitar kita. 


3.  Persyaratan Bukaan bangunan
Pemerintah memiliki aturan melalui UU no 28 Tahun 2002 tentang Bangunan  Gedung bagian persyaratan sistem pencahayaan, antara lain :
a.  Pencahayaan  alami  meliputi  perencanaan  pencahayaan  alami  dan  penentuan besarnya iluminasi.
b.  Bengunan  gedung  hunian  rumah  tinggal,  pelayanan  kesehatan,  pendidikan  dan  bangunan  pelayanan  umum  harus  mempunyai  bukaan untuk pencahayaan alami.
c.  Pencahayaan  buatan,  meliputi  tingkat  iluminasi,  konsumsi  energi,  perencanaan  sistem  pencahayaan,  penggunaan  lampu,  daya  maksimum  yang  diizinkan  dan  daya  pencahayaan  buatau  di  luar  bangunan gedung.
d.  Pencahayaan  buatan  untuk  pencahayaan  darurat  harus  dapat  bekerja  secara  otomatis  dan mempunyai  tingkat  pencahayaan  yang  cukup untuk evakuasi yang aman.
4.  Syarat teknis dan perhitungan
Standar Nasional  Indonesia  tenteng  tata cara perancangan penerangan  alami  siang  hari  untuk  rumah  dan  gedung  (SNI  03-2396-1991)  adalah  sebagai berikut :
a.  Ruang Lingkup
Tata  cara  ini  digunakan  untuk memperoleh  sistem  penerangan  alami  sesuai  syarat  kesehatan,  kenyamanan  untuk  rumah  dan  gedung,  meliputi persyaratan-persyaratan pokok sistem penerangan alami siang  hari dalam ruangan.
b.  Ringkasan
Penerangan alami siang hari yang baik adalah sekitar jam 08.00 sampai  jam  16.00,  dimana  banyak  cahaya  yang  masuk  dalam  ruang  dan  tingkat  penerangannya  ditentukan  oleh  hubungan  geometris  antara  titik ukur dan lubang cahaya.
 
c.  Penggolongan kualitas penerangan
  • Kualitas  A  :  kerja  halus  sekali,  pekerja  cermat  terus  (seperti  menggambar detail, menjahit kain warna gelap, dsb
  • Kualitas  B  :  kerja  halus,  cermat  tidak  intensif  (seperti  :  menulis,  membaca, merakit komponen kecil, dsb).
  • Kualitas C  :  kerja  sedang, pekerjaan  tanpa  konsentrasi  yang besar  (seperti  :  pekerjaan  kayu, merakit  suku  cadang  yang  agak  besar, dsb).
  • Kualita  D  :  Kerja  kasar,  pekerjaan  hanya  detail-detail  yang  besar  (seperti  :  pada  gudang,  lorong  lalu  lintas  orang,  dsb).  Dengan  persyaratan teknis : d=jarak lubang cahaya ke dinding (M), fl min TUS  =  40%  dari  fl min  TUU  dan  tidak boleh  kurang  0,10d.TUU  =  titik  ukur  utama dan TUS = titik ukur samping.
  • Penempatan  faktor  langit  didasarkan  atas  keadaan  langit  terang  merata dan kekuatan terangnya dilapangan terbuka sebesar 10.000 lux.
  • Faktor yang mempengaruhi kualitas penerangan : perbandingan las  lubang  cahaya  dan  luas  lantai,  bentuk  dan  letak  lubang  cahaya,  refleksi cahaya didalam ruangan.
  • Untuk meningkatkan  kualitas penerangan alami  siang hari didalam  ruangan,  hendaknya  ruangan  menerima  cahaya  lebih  dari  satu  arah. Kasa nyamuk dapat mengurangi cahaya masuk 15%.
Pencahayaan buatan (rekayasa mekanisasi)
1.  Pengertian cahaya buatan
Pencahayaan buatan  ialah cahaya  yang dihasilkan oleh elemen-elemen  hasil  pabrikasi.  Kuantitas  dan  kualitas  cahaya  yang  dihasilkan  berbeda - beda tergantung jenis lampu yang digunakan.

2.  Sumber terang buatan
Ada tiga jenis utama sunber cahaya buatan yaitu :
a.  Lampu Pijar
Lampu  pijar  memiliki  filamen  yang  memberikan  cahaya  ketika  dipanaskan,  menjadi  pijar  oleh  aliran  listrik.  Lampu  ini  menyediakan  sumber  cahaya,  memiliki  efikasi  rendah,  mempresentasikan  warna  (render)  dengan  cukup  baik,  dan  mudah  untuk  dipadamkan  oleh  reostat.
b.  Lampu Fluoresens
Lampu  fluoresens  adalah  lampu  discharge  tubular  dimana  cahaya  dihasilkan  dari  fluresens  lapisan  fosfor  didalam  tabung.  Lampu  ini  menyediakan  sumber  cahaya  linier  dan  memiliki  efikasi  sebesar  50  sampai  80  lumen  per  watt.  Kemampuan  merepresentasikan  warna  (rendering) yang dimiliki bervariasi. 
c.  Lampu High-Intensity Discharge (HID)
Lampu  High-Intensity  Discharge  (HID)adalah  lampu  discharge  yang  memiliki  jumlah cahaya  signifikan  yang dihasilkan dari pelepasan  listrik
melalui  uap  logam  didalam  tabung  kaca  tertutup.  Lampu  HID  menggabungkan bentuk lampu pijar dengan efikasi lampu fluoresens. 
  • Lampu-lampu  merkuri  menghasilkan  cahaya  dengan  pelepasan  listrik dalam uap merkuri.
  • Lampu  logam  halida  konstruksinya  sama  dengan  lampu  merkuri,  tetapi  memiliki  tabung  dimana  ligam  halida  ditambahkan  untuk  menghasilkan cahaya dan memperbaiki color rendering.
  •  Lampu  high-pressure  sodium  (HPS) menghasilkan  spektrum  cahaya  putih  keemasan  yang  luas  yang  dihasilkan  dari  pelepasan  listrik  pada uap sodium.

3.  Penempatan sumber terang
Cahaya  yang  menyebar  memancar  dari  sumber  cahaya  yang  banyak  atau  luas  serta  permukaan  pemantul.  Iluminasi  yang  datar  dan  hampir  seragam meminimalisasi  kontras dan bayangan,  serta dapat menyulitkan  pembacaan tekstur.  Disisi yang  lain cahaya  terarah meningkatkan persepsi bentuk dan  tekstur  dengan menghasilkan variasi bayangan dan Brightness pada permukaan  benda yang disinari  Sementara cahaya yang menyebar bermanfaat untuk penglihatan umum,  cahaya  ini bisa menjadi monoton.  Beberaa pencahayaan  terarah dapat  mengurangi  permasalahan  ini  dengan  menyediakan  aksen  visual,  memberikan  variasi  luminasi  dan  menambah  terang  permukaan  kerja.  Gabungan  ddari  pencahayaan  menyebar  dan  pencahayaan  terarah  biasanya lebih disukai dan bermanfaat, terutama jika terdapat bermacam- macam tugas yang harus dilakukan
 
4.  Sistem penyinaran
Tujuan  utama  sistem  pencahayaan  ialah  menyediakan  iluminasi  yang memadai  bagi  kinerja  tugas  visual.  Level  iluminasi  yang  disarankan  untuk  beberapa  tugas  tertentu  hanya  menyebutkan  kuantitas  cahaya  yang  harus  tersedia. Bagaimana  jumlah cahaya  ini mempengaruhi bagaimana  suatu benda atau ruang dapat dilihat.
Ada tiga jenis sistem penyinaran yaitu :
a.  Penyinaran Langsung yaitu sinar cahaya dari sumber cahaya dan yang  dipantulkan  oleh  bidang-bidang  reflektor  diarahkan  langsung  pada  bidang kerja.
b.  Penyinaran  tidak  langsung memakai  penerangan  yang menghalang halangi sinar cahaya datang langsung pada bidang kerja.
c.  Penyinaran  bawur  (difus)  yaitu  cara  penerangan  yang  arah  sinarnya dibuat  serba  kemana-mana,  dari mana-mana  serta merata  sehingga  tidak tampak keras.

5.  Pengaruh dinding, langit-langit, lantai dll
a)  Sudah  umum  dapat  dikatakan  bahwa  semakin muda warna  bidang- bidang  ruangan  (dinding,  lantai,  langit-langit, perabot  rumah dan  lain- lain)  ataupun mendekati  warna  putih,  penerangan  ruangan  semakin  baik  dan  ekonomis  karena  jumlah  cahaya  yang  dipantulkan  kembali  oleh bidang-bidang itu tidak sedikit.
b)  Lantai-lantai  sebaiknya  jangan  terlalu putih bila  ruangan  sudah cukup  penerangannya,  karena  membuat  mata  penat.  Lantai  yang  agak  gelap menyejukkan mata.
c)  Warna  muda  ringan  (warna  pastel)  menggairahkan  dan  mengungkapkan rasa fajar muda.
d)  Warna  putih  merupakan  pemantul  baik  sekali  tetapi  berkesan  dingin atau steril.
e)  Kaca-kaca  jendela  biasanya  lebih mengganggu  daripada menolong  karena  menghamburkan  banyak  cahaya  keluar  dan  memberikan  bayang-bayang refleksi yang menganngu.

Radiasi matahari (orientasi/posisi bangunan terhadap arah radiasi)
Tujuan Utama   :  mempertahankan keseimbangan antara periode kekurangan  panas  dimana  radiasi  diperlukan  dan  periode  kelebihan panas dimana radiasi matahari harus dihindari. 

Lintasan matahari di langin bervariasi tergantung pada musim dan lokasi  tapak. 


Bentuk-bentuk dan orientasi yang di anjurkan :
1.  Daerah Dingin
  • Mengurangi  area  permukaan  bangunan  akan  mengurangi  eksposur terhadap suhu rendah.
  • Memaksimalkan serapan radiasi matahari.
  • Mengurangi  kehilangan  panas  melalui  radiasi  konduksi  dan  penguapan.
  • Menyediakan pelindung angin
 



  1. Daerah Temperatur Sedang 
    • Perpanjangan  bentuk  bangunan  dalam  arah  timur-barat  dan memaksimalkan bidang selatan.
    • Meminimumkan eksposur bidang  timur dan barat, yang biasanya  lebih  hangat  di  musim  panas  dan  lebih  dingin  dimusim  dingin  daripada  bidang selatan.
    • Menyeimbangkan  pemanasan matahari  dengan  bayangan  peneduh pada setiap musim.
    • Memberi  pergerakan  udara  ketika  cuaca  panas,  perlindungan terhadap angin ketika cuaca dingin. 


3.  Daerah Panas-kering
·        Bangunan harus membentuk halaman dalam
·        Mengurangi pemanasan matahari akibat konduksi.
·        Mengupayakan  pendinginan  melalui  fitur  kolam  air  dan  tumbuh - tumbuhan.
·        Sebaiknya memasang kisi peneduh matahari pada  jendela dan  ruang  outdoor.













Lihat Selanjutnya - Fisika Bangunan