Selasa, 31 Januari 2012

SEJARAH ARSITEKTUR DEKONSTRUKSI

Sejak pameran mengenai Arsitektur Dekonstruksi yang diadakan di Museum Seni Modern di New York pada bulan Juli dan Agustus 1988, Dekonstruksi menjadi sebuah aliran baru dalam Arsitektur dan dapat meneruskan atau menggantikan gaya Internasional (International Style), yang dalam tahun tigapuluhan juga diperkenalkan dalam Museum yang sama. Tentu ini merupakan sukses besar bagi para dekonstruktivis yang ikut pameran itu, yaitu : Frank O. Gehry, Daniel Libeskind, Ren Koolhaas, Peter Eisenman, Zaha M. Hadid, Coop Himmelblau dan Bernard Tschumi. Sebenarnya  yang memperkasai untuk menerapkan konsep dekonstruksi dalam bidang arsitektur pertama kali adalah Bernard Tschumi. Selanjutnya, bersama mantan mahasiswanya yang bernama Zaha Hadid dan Peter Eisenman, mencoba memperkenalkannya melalui pameran dengan nama “Deconstruction Architecture”. 

Pada sebuah simposium di “Tate Gallery”  di London dalam bulan Maret 1988 terjadi beda pendapat antara pihak yang berpegangan pada hubungan Dekonstruksi dengan filsafat dan pihak yang memandang Dekonstruksi sebagai perkembangan Sejarah Seni dan Konstruktivisme Rusia. Sukses ini berkat kombinasi filsafat Dekonstruksi; Jacques Derrida dan Konstruktivisme Rusia. Karena  itu penting untuk meninjau pertalian antara teori dan praktek, antara renungan dan rancangan. Pada bulan Oktober tahun 1985 pada Colloquium di Paris duapuluh orang Arsitek, filsuf dan kritisi membicarakan peran teori dalam Arsitektur dari arti Arsitektur bagi filsafat. 

Aliran Dekonstruksi tidak terdapat dalam Arsitektur saja, bahkan Jacques Derrida telah menemukan logik yang bertentangan dalam  akal dan implikasi,  dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa sebuah teks tidak pernah setepatnya mengandung arti yang hendak dikatakannya atau tidak mengatakan yang  dimaksudkan. Derrida berpendapat bahwa kegiatan Tschumi dan Eisenman dalam Arsitektur sama dengan perbuatannya dalam filsafat, yaitu kegiatan Dekonstruksi.

PENGERTIAN ARSITEKTUR DEKONSTRUKSI
Dekonstruksi adalah istilah yang digunakan pertama kalinya pada tahun 1967, oleh Jacques Derrida, seorang ahli bahasa yang juga filsuf dan budayawan Perancis kelahiran Algeria, tahun 1930. Pakar ini menelaah secara radikal teori ilmu bahasa yang pada waktu itu menganut Strukturalisme yang pernah dikembangkan oleh Ferdinand deSaussure antara tahun 1906-1911. Dekonstruksi juga merupakan reaksi terhadap modernisme dalam perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan filsafat. Modernisme dalam perkembangan filsafat ilmu berdasar pada ratio, logos dalam intelektual manusia. Sebagaimana peranan logos, yaitu menciptakan, mengorganisasi, menyusun suatu jalan pikiran dengan sistem yang jelas, maka hal-hal yang kecil, hal-hal yang dasar menjadi hilang. Pengalaman individual, pengalaman  pribadi yang begitu “kaya” biasanya dihilangkan demi mencapai suatu konstruksi yang jelas, tegas dan tepat.

Kata ‘dekonstruksi’ dipergunakan Derrida dalam buku De la Grammatologie, di mana kata tersebut merupakan terjemahan dari istilah Heidegger, yaitu: destruktion dan abbau. Dalam konteks ini, keduanya mempunyai kesamaan pengertian sebagai: operasi yang dilakukan atas struktur atau  arsitektur ‘tradisional’ dari konsep dasar ontology atau metafisik barat (occidental). Tetapi dalam bahasa Perancis, istilah destruction mengimplikasikan suatu pengancuran total,  tetapi Derrida tidak menginginkan adanya penghancuran yang total itu. Untuk itulah Derrida memakai kata ‘deconstruction’ yang diketemukannya dalam Littre untuk menandai maksudnya dalam bahasa Perancis.

Rumusan Derrida mengenai dekonstruksi (deconstruction) tidak pernah secara definitif diperoleh. Kesulitan terletak pada Phenomenon deconstruction sebagai gejala “mengada”  yang tidak pernah menuju ke arah kebakuan. Derrida mengatakan bahwa “dekonstruksi bukan semata-mata metoda kritis”. Metoda kritis perlu diartikan sebagai memiliki sifat kritis terhadap dirinya sendiri. Dengan hakekat kritis ini maka wilayah jelajah dekonstruksi tidak dibatasi pada konteks filosofi saja. Selain itu, oleh Derrida dekonstruksi juga dianggap bukanlah merupakan metoda berpikir yang destruktif, karena senantiasa membongkar habis struktur-struktur makna dan bangun suatu konsep. Menurut Derrida “sikap dekonstruksi senantiasa afirmatif dan tidak negatif”, sebab sesuatu yang negatif tidaklah membuka diri pada pencarian pemahaman lebih utuh.

PEMBACAAN DEKONSTRUKSI PADA GEDUNG MESINIAGA

KONSEP RANCANGAN GEDUNG MESINIAGA


Penafsiran atas marka-lingkungan dari pencakar langit milik perusahaan besar yang mencengangkan ini, menjelajahi arah baru dari tipe bangunan yang biasanya tidak bersahabat. Pihak arsitek menjuluki tipe baru ini “bangunan tinggi beriklim-bio”  dan memberinya pengendalian iklim serta penghematan energi yang peka. Yang patut dicatat adalah adanya dua spiral “taman angkasa”  yang berputar ke atas sambil memberi bayangan dan kontras visual terhadap permukaan baja dan alumunium dari gedungnya. Rangka beton pra tekan pada gedung itu  selanjutnya ditingkahi oleh dua tipe penangkis sinar matahari serta tirai baja dan kaca yang membuat citra High Tech yang organik, apalagi setelah dilengkapi dengan mahkota logam dan umpak pada bagian landasan bangunannya. Menara  Mesiniaga merupakan sebuah penelitian arsiteknya atas prinsip-prinsip iklim-bio  bagi perancangan gedung tinggi di daerah beriklim tropis. Menara Mesiniaga memiliki langgam arsitektur campuran dari langgam kolonial, Cina, Eropa dan Malaysia. 

bangunannya diperlihatkan seluruhnya  dan penyejukannya dilakukan memlaui Gedung Mesiniaga merupakan buah penelitian arsiteknya atas prinsip-prinsip iklim-bio bagiperancangan gedung tinggi di daerah beriklim tropis. Yang ditampilkan adalah suatu organisasi spasial memanjang yang diisi dengan hirarki tertentu.  Bangunan tersebut memiliki tiga bagian struktur yaitu : umpak berselimut unsur hijau yang terangkat, badan yang bernuansa spiral dengan balkon untuk teras taman dan tirai yang memberi bayangan, dan bagian puncak tempat fasilitas rekreasi berupa kolam renang serta teras beratap. Struktur beton pratekan dan rangka bajapengudaraan alami dan buatan.

Sejalan dengan penjelasan diatas pembahasan selanjutnya berusaha untuk mengetahui sejauh mana pengertian dekonstruksi yang tanpa disadari oleh perancangan terdapat pada bangunan tersebut. Pembacaan dekonstruksi Gedung Mesiniaga karya Kenneth Yeang dalam pembahasan ini digunakan dengan menerapkan beberapa asas-asas  ‘dekonstruksi’ yang digunakan seperti  apa yang telah dilakukan oleh Benedikt dalam meninjau Museum Kimbell. Dengan demikian mudah-mudahan ‘dekonstruksi’ pada Gedung Mesiniaga ini dapat terbaca.
 
PEMBACAAN DEKONSTRUKSI GEDUNG MESINIAGA
KONSEP ‘DIFFERENCE’ PADA RANCANGAN MESINIAGA

Konsep difference-nya Derrida nampaknya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan metafisikanya ‘sebuah pohon raksasa’-nya gedung Mesiniaga , dimana dengan pemaknaan bahwa tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir. Dengan menempatkan konsep taman secara memutar dan kontiniu (continuous planting spiraling up), hal ini telah memberikan suatu makna ingin menghadirkan suatu bangunan yang di metafora-
kan sebagai sebuah ‘pohon raksasa’. 

Taman yang memutar dan bentuk bangunan  yang berbentuk lingkaran adalah sebuah tanda yang menghadirkan sesuatu yang tidak hadir yaitu sebuah pohon yang dilengkapi dengan dedaunan. Sedangkan pohon itu sendiri merupakan tanda ‘ketidakhadiran yang tertunda’ dari apa yang semestinya dihadirkan.
 
Pohon pada konsep bangunan ini merupakan sebuah metafora dari apa yang seharusnya hadir dalam sebuah pelestraian alam, dimana pohon merupakan suatu unsur yang terpenting dalam memberikan seuatu keseimbangan alam.

Spiral ‘taman angkasa’ yang dikembangan di dalam perencanaan bangunan Mesiniaga ini, dimana taman tersebut berputar ke  atas dipakai sebagai alat yang memberikan bayangan yang kontras visual kepada permukaan baja dan alumunium dari gedung tersebut, hal ini juga merupakan sebuah metafor dari apa yang seharusnya hadir yaitu sebuah alam yang ditumbuhi oleh beberapa tanaman yang hijau dan asri.

Konsep sebuah pohon, yaitu sebuah unsur alam yang hidup dan tumbuh serta berdiri pada sebuah bidang tanah, merupakan sebuah konsep yang dipergunakan oleh Ken Yeang untuk membuat dan membangun Gedung Mesiniaga. Metafisikanya  sebuah pohon terlihat jelas sekali pada bangunan ini, dimana penundaan kehadiran yang seharusnya hadir, sudah merupakan sebuah bukti adanya ‘defference’-nya Derrida ada di obyek ini. 
 
Site yang ditata sedemikian rupa dan teratur dan ditumbuhi  sebatang pohon pada areal sekitar site tersebut. Pohon-pohon menumbuhkan cabang-cabangnya, kolom-kolom menumbuhkan balok-balok. Pertumbuhan terus berlanjut, batang-batang menumbuhkan dedaunan. Bentuk yang sedang bertumbuh ini dapat kita lihat pada  bangunan Gedung Mesiniaga dimana kolom-kolom tersebut  dapat kita lihat karena berada luar bangunan. Selanjutnya kehadiran mahkota baja yang berada pada puncak bangunan ini juga dapat di metaforkan sebagai puncak sebuah pohon yang  selalu dipenuhi oleh dedaunan, dimana pemaknaan tersebut merupakan sebuah tanda menghadiran sesuatu makna yang tidak hadir. Sebuah puncak pohon yang selalu dipenuhi dengan dedaunan tersebut merupakan sebuah tanda ketidakhadiran, dimana kehadirannya ditandai dengan hadirnya sebuah rangka baja yang menyerupai sebuah mahkota. 
 
Seperti telah diungkapkan pada pembahasan terdahulu tentang penataan tapak, bahwa tanaman di sekitar bangunan yang ditata membentuk spiral pada kulit bangunan juga dipandang sebagai alam yang hijau. Ini sesuai dengan teori Yoshinibu Ashihara, bahwa untuk membentuk sebuah tatanan ruang luar, kita dapat memperlakukan tanaman di taman  sebagai masa yang dapat juga membentuk ruang luar, sama seperti masa bangunan, jadi kedudukan masa bangunan dan masa tanaman memang sama bila ditinjau dari pembentukan ruang luar. Kenneth Yeang mengatakan  konsepnya tentang rancangannya ini sebagai proses bangunan bio - klimatik, tetapi apa yang terlihat ternyata melangkah lebih jauh dari proses terjadinya sebuah bentuk. Bila kita melihat sketsa dari tema  space of one hundred columns  kita seolah diajak  untuk membayangkan bahwa bentuk tersebut tumbuh dari site itu sendiri. Hal ini terlihat pada site dimana bangunan seakan muncul dari dalam tanah pada sebuah perbukitan. 


Konsep “Continuous PalntingSpiraling Up” dari Gedung Mesiniaga

Penerapan konsep tersebut dengan menempatkan taman secara memutar keatas dan diakhiri oleh sebuah mahkota.

Terlihat dikejauahan, memperlihatkan seakan-akan bangunan tersebut tumbuh dari sebuah perbukitan


PEMBALIKAN HIRARKI PADA RANCANGAN MESINIAGA

Filsafat modern dengan metafisika kehadirannya sangat menekankan kepastian yang tak tertunda karena segala sesuatu harus bisa diselesaikan dengan logika. Diferensiasi secara ketat menghasilkan perbedaan dua kutub yang dipertentangkan secara diamatral (oposisi) binari). Elemen yang pertama dianggap yang penting dan mendominasi yang kedua, secara hirarkis yang kedua sub-ordinansi terhadap yang pertama, sehingga kalau yang kedua harus ada, maka ia hanya berperan sebagai perlengkap penderita. Derrida melakukan dekonstruksi terhadap pandangan  oposisi ini dengan menempatkan kedua elemen tersebut tidak secara hirarkis yang satu dibawah yang lain, tetapi sejajar sehingga secara bersama-sama dapat menguak makna (kebenaran) yang lebih luas, lebih mendalam pada suatu bingkai tanpa batas.
 
Dalam konteks ini dan melihat konsep perencanaan Gedung Mesiniaga ada beberapa bagian yang dapat dilihat secara ‘pembalikan hirarki’ dekonstruksi. Salah satunya yaitu sebuah konsep penempatan fungsi penampungan air yang biasanya berada di dasar bangunan atau pada halaman sebuah bangunan, dalam hal ini sang arsitek Kenneth Yeang mengadakan suatu pembalikan hirarki dengan menempatkan sesuatu yang semestinya berada dibawah dalam hal ini diletakkan diatas bangunan, atau pada puncak bangunan lantai 20. Biasanya pada bangunan-bangunan  pencakar langit, pada lantai puncak diletakkan fungsi darurat yanitu meletakan “Helipaid’. Fungsi penampungan air ini, digunakan sebagai media yang memberikan  sumber kehidupan bagi ‘taman angkasa’ yang diciptakan Ken Yeang pada bangunan tersebut


 
Perletakkan penampungan air hujan yang berfungsi sebagai penyuplai air bagi ‘taman angkasa’ spiral


 

Dengan menggunakan sifat air yang selalu berjalan ketempat yang lebih rendah maka dengan meletakkan penampungan air diatas bangunan maka air tersebut dapat memberikan sumber kehidupan bagi ‘taman angkasa’ yang berbentuk spiral.

KONTEKS PUSAT DAN MARJINAL PADA RANCANGAN MESINIAGA
 
Perbedaan antara ‘pusat’ dan ‘marjinal’ merupakan konsekuensi dari adanya hirarki yang ditimbulkan oposisi binari. Yang ‘marjinal’ adalah yang berada pada btas pad tepian, berada diluar (outside), karenanya dianggap tidak penting. Sementara yang ‘pusat’ adalah yang terdalam yang dijantung daya tarik dan makna dimana setiap gerakan berasal dan merupakan tujuan gerakan dari yang marjinal.

Derrida mempertanyakan keabsahan posisi ini dalam konsep ‘parergon’ (para : tepi, ergon : karya), yaitu bingkai  lukisan. Kalau hanya untuk  membingkai lukisan selalu dibuat demikian bagus berukir. Bukankah pembingkaian (framing) ini mempunyai nilai sendiri terlepas dari nilai lukisan yang dibingkainya ?.

Dinding pada umumnya berfungsi sebagai kulit luar dari sebuah bangunan. Dinding pada umumnya berada pada bagian luar (outside), dan merupakan bagian yang digunakan sebagai batas dari sebuah ruang. Dibalik dinding dapat dipastikan ada sebuah ruang, pada ruang tersebut ada bermacam-macam komponen penyusun ruang, antara lain perabotan. Apabila pada sebuah bangunan tinggi biasanya pada sebuah ruang ada salah satu unsur yang cukup penting sebagai struktur  pendukung bangunan yanitu ‘tiang’, dimana biasanya tiang ini pada ruang-ruang tertentu muncul dan berada di dalamnya.  Selanjutnya pada suatu perencanaan dapat  juga memperlihatkan bahwa posisi tiang dan dinding berada pada dimensi yang sama. 
 
Melihat rancangan Ken Yeang, dimana posisi keduanya yaitu antara tiang dan dinding telah dibedakan dalam peletaknya. Pada konteks dekonstruksi tentang ‘pusat’ dan ‘marjinal’ , dan melihat pengertian dari konsep ‘parergon’-nya Derrida, maka penempatan dinding yang seharusnya berada pada marjinal pada gedung tersebut ditempatkan seolah-olah pada pusat bangunan yang dilindungi oleh beberapa buah tiang yang melindunginya. Peran tiang yang merupakan fungsi struktur bangunan tinggi diusahakan juga berperan  sebagai alat pelindung dinding yang ditarik kepusat untuk menghindari pencahayaan yang berlebihan.

Dinding-dinding bangunan yang selama ini dibiarkan sebagai komponen yang tidak berguna tetapi pada bangunan Gedung Mesiniaga peranan dinding yang ditarik kepusat tersebut mempunyai peran yang sangat sentral dalam mengatur pencahayaan yang masunk kedalam gedung. Dinding-dinding tersebut dipenuhi oleh kaca-kaca yang berfungsi untuk  memasukkan berkas-berkas cahaya sehingga kegelapan didalamnya terusir dan masuklah roh yang memberikan kehidupan pada bangunan ini sehingga terjadilah proses kehidupan yang terjadi pada pembahasan sebelumnya. Cahaya ini terus masuk pada siang hari dari bukaan- bukaan yang ada pada kulit-kulit bangunan dan
diarahkan oleh lempengan-lempengan logam yang berada diluar dinding tersebut. Tetapi pada malam 
 
hari kita melihat proses sebaliknya, keluarnya roh itu dari dalam gedung Mesiniaga.  Keluarnya cahaya dari bangunan sangat kuat terasa pada bangunan tengah. Dan pengeluaran cahaya ini terasa sangat memberikan arti bahwa bangunan tersebut mengisyaratkan pada lingkungan bahwa di dalamnya ada suatu roh dan kehidupan. Cahaya disini tidak sekedar merasuk kedalam ruang tetapi juga keluar dari ruangan, sehingga bentuk di sini adalah wadah dari roh, seperti falsafah Lao Tze tentang ruang. Bahwa yang penting adalah yang ada di dalam, kekosongan yang ada di dalam itu, dan ini semakin diperkuat dengan adanya aliran kehidupan dari keluar-masuknya cahaya tersebut.


Secara jelas terlihat peranan dinding yang berada dipusat dari lingkaran luar bangunaan tersebut sangat sentral dan penting sekali di dalam mengatur pencahayaan alami Gedung Mesiniaga, dalam hal ini ‘sang’ dinding meninggalkan ‘sang’ tiang yang tetap dengan kemarjinalannya. 

Pada rancangan denah Gedung Mesiniaga terlihat perletakan kolom yang berada diluar dari dinding gedung tersebut. Proses penukaran antara  pusat dan marjinal terlihat pada bagian ini

PENGULANGAN DAN MAKNA PADA RANCANGAN MESINIAGA
 
Suatu kata atau tanda memperoleh maknanya dalam suatu proses berulang (iteratif) pada konteksyang berbeda dimana secara konotif maupun denotif artinya akan memperoleh struktur yang stabil. Dalam arsitektur, penggunaan metafora secara berulang-ulang akan membuka pemahaman yang lebih baik terhadap makna yang dimaksudkannya.

Pengulangan/ serangkaian titik menunda kehadiran makna yang akan dimunculkan (dalam konteks bahasa). Ia juga merupakan waktu istirahat, jedah, memperlambat tempo atau mengarah padaketidakthuan. Serangkaian tanda tanya menunda kehadiran makna tentang kebingungan, kegalauan, ketidakpastian, dan seterusnya. Serangkaian tanda seru menunda kehadiran makna tentang kemarahan, kegeraman dan seteruanya. Dengan demikian pengulangan/ serangkaian titik, tanda tanya, tanda seru merupakan metafora dari ketidkthuan, kebingunan dan kemarahan. 


Pada bangunan Gedung Mesiniaga, pengulangan alat penangkis sinar matahari yang terbuat dari logam merupakan suatu tanda tanya tentang  kehadiran suatu makna yang tersembunyi dibalik kehadirannya. Ibarat kepala seorang manusia yang ditutupi sebuah topi, artinya manusia tersebut melindungi kepal dari sengatan sinar matahari, tetapi selain topi dibutuhkan pula suatu bentuk dari topi tersebut sebuah penangkis cahaya yang dapat menghindarkan mata dari silaunya matahari. Kemudian apa bila seorang manusia merasa silau terhadap sinar matahari sedangkan  dia tidak menggunakan topi, secara reflek tangannya akan digunakan sebagai penangkis  sinar matahari. Kalau penangkis sinar matari tersebut hanya diletakkan cuma sebuah pada bangunan  Gedung Mesiniaga tersebut, maka belum memberikan makna metafora dari sebuah ‘tangan manusia’ untuk
menangkis matahari dari silaunya cahaya matahari, tetapi karena diberi secara berulang-ulang maka makna penangkis tersebut semakin jelas namun kehadiran makna sebenarnya dari sebuah ‘tangan manusia’ tetap tertunda dibalik kehadirannya, apalagi penempatannya berada pada bagian-bagian tertentu yang memang dibutuhkan akibat fungsi yang diembannya. Oleh karena itu akibat pemunculan lempengan tersebut semakin jelaslah makna melalui metafora ‘tangan manusia’ yang sedang menahan silaunya sinar matahari. 

 
Pada gambar terlihat lempengan baja yang diletakkan pada bagian-bagian tertentu secara berulang. Kehadirannya sebagai sebuah tanda tanya menunda sebuah kehadiran makna dari ‘tangan manusia’ yang sedang menahan silaunya matahari yang menyinari mata manusia tersebut.

Gambar yang memperlihatkan sebuah konsep Penempatan penangkis sinar matahari sebagai  Sebuah metafora  tangan manusia’ yang sedang Dari silaunya cahaya matahari



Tidak ada komentar:

Posting Komentar