Selasa, 24 Januari 2012

Kawasan Cagar Budaya Indonesia


SEJARAH KOTA JAKARTA
Berdiri di sebelah barat muara Sungai Ciliwung, cikal bakal Kota Jakarta telah didirikan sejak abad XII oleh masyarakat Hindu - Jawa. Kota Jakarta merupakan bagian dari Kerajaan Padjajaran.
Namun pada tahun 1527, Jakarta yang dahulu bernama Sunda Kelapa ditaklukkan oleh Fatahillah dan diganti namanya menjadi Jayakarta. Kala itu, pengaruh kotakota di Jawa masih terasa.
Prinsip pembangunan kota mengikuti kotakota di Jawa dengan alun – alun sebagai pusat kota yang dikelilingi oleh istana kepala pemerintah dan mesjid. Luas kota saat itu diperkirakan 30 hektare. Pengaruh tata kota pantai juga mempengaruhi Kota Jakarta Sejak kedatangan Fatahilah, atmosfer Banten berdiri. Seperti permukiman orang – orang China dan asing bermunculan di muara sebelah timur Sunagi Ciliwung. Permukiman ini juga didiami para pendatang Belanda, saat awal kedatangan mereka ke tanah Jawa .
Pada 1619, Jayakarta jatuh ke tangan Belanda. Nama Jayakarta pun diubah menajdi Batavia oleh VOC ( Perusahaan Dagang Hindia Belanda ). Sejak saat itu, perencanaan kota bergaya Belanda dimulai di Batavia. Tata kota Batavia disesuaikan dengan prinsip kota air seperti Amsterdam dan kotakota di Belanda, yaitu sebidang tanah datar dengan rumah – rumah yang rapat yang terbagi dalam blok – blok. Jalan antar blok dipisahkan oleh saluran air dan tempat pejalan kaki.
Pada paruh kedua abad XVII muara barat Sungai Ciliwung, tempat mukim orang Jawa Jayakarta disatukan dengan Batavia. Ini menyebabkan Batavia makin luas menjadi dua kali lipat sebelumnya. 
Dalam waktu setengah abad, Batavia atau yang saat ini kita kenal dengan nama Kota, mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Area Kota mencapai 100 hektare luasnya dan berkembang menjadi kota besar, bukan hanya sekadar kota tempat perdagangan.
Pada abad XVIII, garis pertahanan dan pos – pos penjagaan dibangun mengelilingi Batavia. Tujuannya melindungi perkampungan penduduk, perkebunan gula, perkebunan kelapa, perumahan orang – orang Belanda, dan kantor VOC. Sementara itu  kapal – kapal perang Belanda dirawat dan diperbaiki di luar pantai Batavia, yakni di Pulau Onrust, salah satu gugusan Kepulauan Seribu.
Peran Kota menjadi makin penting setelah tahun 1870 pemerintah kolonial membuka keran investasi asing dan swasta. Banyak perusahaan perdagangan berdiri dan menetap di Kota.
Akan tetapi, perubahan Kota Batavia mulai terjadi awal abad XIX setelah VOC dibubarkan. Ketika itu kondisi Batavia sudah sangat padat. Masalah sanitasi dan daya dukung lingkungan yang kurang memedai membuat pemerintah kolonial mencari daerah lain untuk mendirikan ibu kota baru. Maka, dipilihlah Weltevreden yang berjarak lima kilometer dari Kota dan letaknya lebih tinggi sebagai pusat kota baru. Tidak seperti Batavia yang berwajah urban dengan rumah – rumah yang berimpitan, Weltevereden lebih luas, mencapai lebih dari 100 hektare.
Weltevreden didirikan untuk permukiman orang – orang Eropa. Struktur kota ini didasarkan pada prinsip bangunan tropis, yaitu banyak taman yang mengisi jarak antarrumah. Bangunan perumahan dan kantor – kantor pemerintahan dibnagun dengan gaya arsitektur Hindia-Belanda.
Bangunan tersebut memiliki banyak bukaan, beratap curam, berlantai teraso, dan berdinding bata tebal. Semuanya berfungsi untuk menjaga agar suhu di dalam ruangan tetap sejuk di siang hari dan hangat di malam hari.
Pada tahun 1835, Gubernur Vanden Bosch membuat garis pertahanan di seputar Weltevreden untuk mengamankan kota. Hal ini makin memperjelas konsep tata kota Weltevreden, yakni pola pembangunan yang menyebar di dalam kota diamankan dengan garis demarkasi di sekelilingnya.
Memasuki abad XIX, Jakarta telah memiliki dua pusat kota dengan fungnsinya masing – masing. Bahkan seratus tahun kemudian dibangun area perumahan di luar garis batas Guberbur Vanden Bosch. Area baru ini adalah Menteng dan Gondangdia. Konsep pembangunannya masih sama, yaitu perumahan dengan taman – taman dan jalan raya yang luas, tempat bermukimnya orang – orang Eropa.
Setelah Indonesia merdeka populasi Jakarta bertambah dengan sangat pesat. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk membangun kota satelit. Desain kota Kebayoran Baru merupakan percampuran prinsip antara Eropa Barat dan Jawa. Tata letak kota masih dipengaruhi oleh prinsip tata letak Jawa, namun dipisahkan oleh jalan raya yang lebar dan jalur hijau yang luas.
Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta menjadi simbol pembangunan nasional. Jakarta menjadi ibu kota negara yang sedang sibuk mencari identitasnya. Berbagai pembangunan berskala besar dilakukan untuk menaikkan gengsi Jakarta, seperti stadion utama di Senayan, Gedung Nusantara di Jl. MH Thamrin, Monumen
Nasional ( Monas ) dan Lapangan Merdeka.
Setelah Soekarno turun, Indonesia di pimpin oleh Soeharto. Titik berat kebijakan pemerintah saat itu adalah pembangunan ekonomi. Pada masa itu, Jakarta disibukkan dengan pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, jembatan dan jalan tol.
Rangkaian perjalanan Jakarta sejak dahulu hingga sekarang merepresentasikan identitas kultur urban Jakarta sebagai sebuah kota tua belum dimanfaatkan untuk kepentingan wisata budaya. 
Memang umumnya kota belum dianggap sebagai objek wisata.Oleh karena itu, wajar jika saat ini ranah tersebut belum dikelola dengan baik oleh Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta. Padahal jika penataan kota tua memberi perhatian lebih pada sejarah, kawasan itu dapat menjadi andalan baru untuk kegiatan pariwisata. Malaysia, misalnya dapat menjadi contoh adanya kesadaran dalam menjaga dan menjadikan kota - kota tua yang dimilikinya sehingga mampu memberikan keuntungan ekonomis.

ATURAN DALAM UPAYA PELESTARIAN
Upaya pelestarian di Jakarta didasarkan kepada UU No. 5 tahun 1992 Tentang  Benda Cagar Budaya dan Peraturan Daerah No. 9 tahun 1999, yang menggolongkan  kawasan cagar budaya menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu: kawasan cagar budaya golongan  I sampai dengan  III, dan menggolongkan bangunan  cagar  budaya menjadi  3  (tiga)  golongan,  yaitu: bangunan cagar budaya golongan A, B, dan C.

PEMANFAATAN KAWASAN DAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA
Pemanfaatan kawasan dan bangunan cagar budaya disesuaikan dengan wujud fisiknya dan perencanaan kota untuk daerah dimana kawasan dan bangunan cagar budaya berada, yang ditentukan oleh Pemda DKI Jakarta. Pemanfaatan barunya disesuaikan dengan kebutuhan masa kini dan akan dating selama cocok dengan wujud fisiknya.

 KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTATUA
Berdasarkan kajian sejarah, sebagian besar dari kawasan Sunda Kelapa dan Zona 2 Kawasan Cagar Budaya Kotatua adalah cikal bakal Kotatua, yaitu kota yang pada masa colo nial berada di dalam dinding benteng, yang ditinggali sebagaian besar oleh Bangsa Belanda. Kawasan ini dahulu dibatasi oleh Sungai Ciliwung di sebelah timur, kanal Stadt Buiten Gracht sebelah barat (kini Sungai Krukut) di sebelah barat, kanal Stadt Buiten Gracht di sebelah selatan (kini Jalan Jembatan Batu dan Jalan Asemka), dan laut di utara (termasuk Pelabuhan Sunda Kelapa). Di luar kawasan ini terdapat permukiman-permukiman lain yang bersama-sama kota di dalam benteng merupakan Kawasan Cagar Budaya Kotatua seperti apa yang tercakup pada Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 34 Tahun 2005. Kawasan cagar budaya ini adalah kawasan seluas sekitar 846 Ha yang terletak di Kotamadya Jakarta Utara dan Kotamadya Jakarta Barat (lihat gambar 1).
Gambar  1  :  Lokasi   Kotatua di  Jakarta
Sumber : Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran DKI Jakarta,  1990,  Jejak Jakarta Pra-1945

Berdasarkan Rencana Induk Kotatua Jakarta (DTK, 2007), ditengah-tengah Kawasan Cagar Budaya Kotatua terdapat zona inti, yaitu area yang memiliki nilai sejarah yang lebih bernilai, yang dahulunya sebagian besar adalah kota di dalam dinding. Kawasan Cagar Budaya Kotatua dibagi menjadi 5 (lima) zona, yaitu: kawasan Sunda Kelapa, kawasan Fatahillah, kawasan Pecinan, kawasan Pekojan, dan kawasan Peremajaan (lihat gambar 2).
Gambar  2  : Kawasan Cagar Budaya Kotatua dan Kawasan Zona 2
Sumber : Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran DKI Jakarta,  1990,  Jejak Jakarta Pra-1945

Zona 2 Kawasan Cagar Budaya Kotatua, dengan luas area sekitar  87 Ha (lihat gambar 3), merupakan bagian dari zona inti Kawasan Cagar Budaya Kotatua, yang batas-batasnya adalah Sungai Krukut di sisi barat, Sungai Ciliwung di sisi timur, jalan tol dan  jalan kereta api di sisi utara, serta  Jalan Jembatan Batu dan Jalan Asemka di sisi selatan. Kawasan cagar budaya ini bukan hanya memiliki bangunan dengan nilai sejarah dan arsitektur yang tinggi, tetapi juga memiliki arsitektur ruang kota yang perlu dijaga kelestariannya.






Gambar  3  : Zona  2 Kawasan Cagar Budaya Kotatua
Sumber : Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran DKI Jakarta,  1990,  Jejak Jakarta Pra-1945

GAMBARAN RINGKAS ZONA 2 KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTATUA
 Zona 2   Kawasan Cagar Budaya   Kotatua dimasa lalu
Zona 2 Kawasan Cagar Budaya Kotatua pada masa penjajahan Belanda sampai dengan abad ke XIX adalah bagian selatan dari kawasan di dalam dinding kota yang dibatasi oleh Sungai Ciliwung di sisi timur, Sungai Krukut (Jelakeng) di sisi barat, Jalan Jembatan Batu dan Jalan Asemka di sisi selatan, serta kawasan Pasar  Ikan di  sisi utara. Di masa-masa akhir era kolonial Belanda, kawasan ini merupakan pusat bisnis (CBD) kota Batavia dengan konsentrasi kegiatan perdagangan dan jasa di sepanjang Sungai Kali Besar, dan pemerintahan disekitar Taman Fatahillah (lihat gambar 4). Kawasan ini ditandai oleh jalan dan sungai/kanal yang membentuk blok-blok berupa grid kota dengan 2 (dua) taman/ plaza, yaitu Taman Fatahillah yang menjadi pusat kegiatan publik  dan Taman  Beos  yang  dikelilingi oleh  kantor-kantor
besar dan Stasiun KA. Di sepanjang Kali Besar terdapat perusahaan dagang dan pelayaran.Blok-blok di belakang Kali Besar ditempati oleh hunian dan bangunan pergudangan.






Gambar 4 : Suasana di Zona 2 Kawasan Cagar Budaya Kotatua tempo dulu
Sumber : www.pitt.edu/~tokerism/0040/syl/src1030.htm

Bangunan-bangunan di Zona 2 Kawasan Cagar Budaya Kotatua pada saat ini terdiri dari 3 (tiga) tipe, yaitu: bangunan besar yang berdiri sendiri pada satu blok kota atau lebih dari setengah blok kota, bangunan di kavling pojok, dan bangunan-bangunan deret yang bersama-sama membentuk satu blok kota. Bangunan-bangunan ini tingginya sekitar 2 sampai dengan 3 lantai dengan jarak lantai ke lantai sekitar 4 meter. Keunikan arsitektur kota kawasan ini adalah letak bangunan yang menempel langsung ke jalan atau ruang terbuka/taman/plaza. Di kawasan yang dikaji ini dapat disimpulkan ini terdapat empat tipologi bangunan, yang dibedakan sesuai masyarakat dan zamannya (lihat gambar 5), yaitu:
  1. Bangunan masyarakat kolonial Eropa ( Colonial Indische, Neo-Klasik Eropa, Art Deco, dan Art Nouveau).
  2. Bangunan masyarakat Cina (Gaya Cina Selatan dan campuran dengan gaya kolonial Eropa).
  3. Bangunan masyarakat pribumi (Colonial Indische).
  4. Bangunan modern Indonesia (International Style).


Gambar  5  : Berbagai gaya  arsitektur di Kotatua
Sumber : wikimedia.org/wiki/Image:St._Peter's_,Ima ge:St. Peter's Basilica Facade, Rome, June
2004.jpg
Rencana Pelestarian dan Revitalisasi Zona 2 Kawasan Cagar Budaya Kotatua
Zona 2 Kawasan Cagar Budaya Kotatua direncanakan sebagai kawasan cagar budaya yaitu sebagai sebuah living heritage dan sebagai kawasan revitalisasi, yaitu sebagai kawasan yang diproyeksikan menjadi salah satu tempat kegiatan utama skala kota bagi warga DKI  Jakarta untuk berekreasi, berbudaya, bertinggal, dan bekerja  dengan  tetap menjaga  kelestarian kawasan sebagai kawasan cagar budaya.

LINGKUNGAN GOLONGAN CAGAR BUDAYA DI ZONA 2 KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTATUA
Berdasarkan kepada beberapa kriteria yang ada di Peraturan Daerah No. 5 tahun 1999, Zona 2 Kawasan Cagar Budaya Kotatua, dibagi menjadi 3 (tiga) golongan kawasan cagar budaya yaitu (lihat gambar 6):
  • Lingkungan  Golongan  I,   di  sekitar  Taman Fatahillah dan Jalan Cengkeh;
  • Lingkungan Golongan II, di sepanjang Kali Besar, Jalan Pintu Besar Utara dan sekitar Taman Beos
  • Lingkungan Golongan III, di luar Golongan I dan II yaitu area yang berdekatan dengan Sungai Ciliwung di sisi timur dan area di dekat Sungai Krukut (Jelakeng) di sisi barat.

Gambar 6 : Penggolongan Lingkungan Cagar Budaya di Zona 2 Kawasan Cagar Budaya Kotatua
Sumber : Sumber : Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran DKI Jakarta,  1990,  Jejak Jakarta Pra-1945


Lingkungan Cagar Budaya Golongan I
Lingkungan cagar budaya Golongan I (lihat gambar 7) berada disekitar Taman Fatahillah dan Jalan Cengkeh. Kawasan Taman Fatahillah, termasuk Jalan Cengkeh yang dahulu bernama Prinsen Straat (sumbu Amsterdam Poort - Stadhuis), merupakakan kawasan yang urgen untuk tetap dilestarikan. Lingkungan ini didominasi oleh bangunan-bangunan cagar budaya golongan A. Jalan Cengkeh dan Taman Fatahillah dahulu merupakan aksis yang merepresentasikan kekuasaan politik kolonial (jalur darat). Bagian-bagian yang sudah sangat berubah di dalam bagian ini, dikembalikan seperti keadaan aslinya.
Gambar 7  : Lingkungan  cagar budaya Golongan I
Sumber : Sumber : Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran DKI Jakarta,  1990,  Jejak Jakarta Pra-1945

  1. Cagar budaya lingkungan dan bangunan di kawasa ini dikendalikan dengan sangat ketat (high control) dan dilaksanakan oleh pihak pemerintah daerah DKI Jakarta.
  2. Lingkungan atau ruang kota Jalan Cengkeh dan Taman Fatahillah, dipugar kembali dengan karakter yang sama seperti keadaan pada era “Kota Dinding Benteng” akhir abad XVIII. Seluruh bangunan tua di sepanjang Jalan Cengkeh dan seki tar Taman Fatahillah yang kini telah terlanjur dibangun sebagai bangunan baru, bukan merupakan bangunan cagar budaya. Apabila di kemudian hari akan dibangun kembali, bagian depannya hingga kedalaman 10 meter harus dirancang dengan karakter yang sama dengan bangunan asli. Acuan yang digunakan untuk memugar kembali lingkungan atau ruang kota adalah foto-foto lama yang dapat dijadikan bukti otentik suasana akhir abad XVIII.
  3. Sebagai elemen bersejarah yang berperan penting, diusulkan untuk merekonstruksi kembali Amsterdam Poort sebagaimana bentuk semula
  4. Seluruh bangunan tua yang memiliki makna sejarah kuat di kawasan ini dikategorikan sebagai bangunanncagar budaya golongan A. Bangunan-bangunan itu dalah bangunan Museum  Sejarah  Jakarta (Fatahilah),  bangunan Museum  Senirupa  dan Keramik, serta bangunan Museum Wayang.
  5. Lingkungan ini, Jalan Cengkeh dan sekitar Taman Fatahillah harus bebas kendaraan
  6. Penggunaan papan reklame tidak diperkenankan di kawasan ini.

Lingkungan Cagar Budaya Golongan II
Lingkungan cagar budaya Golongan II (lihat gambar 8) berada diluar lingkungan I. Dahulu, Kali Besar merupakan aksis yang merepresentasikan kekuasaan ekonomi, sosial dan budaya kolonialisme (jalur air). Kawasan sepanjang Kali Besar melebar ke timur sepanjang Kali Besar Timur 3  di selatan ke arah barat Jl. Malaka, sekitar sebelah selatan Balai Kota termasuk BNI Kota, sekitar Taman Beos,  termasuk dalam  lingkungan  ini. Pada lingkungan  ini terdapat konsentrasi bangunan-bangunan cagar budaya golongan B dan beberapa bangunan  cagar budaya golongan A, Toko Merah, Gedung BI, dan Gedung Bank Mandiri. Dalam lingkungan ini, seharusnya diambil kebijakan agar bangunan - bangunan cagar budaya di dalamnya dapat diselamatkan dan dilestarikan.
Gambar 8  :  Lingkungan cagar budaya Golongan  II
Sumber: Sumber : Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran DKI Jakarta,  1990,  Jejak Jakarta Pra-1945

  1. Penataan lingkungan dilakukan dengan tetap mempertahankan keaslian unsur-unsur lingkungan serta arsitektur bangunan yang menjadi ciri khas kawasan, yaitu mempertahankan karakter ruang-ruang kota dan melestarikan bangunan-bangunan cagar budaya yang ada.
  2. Ruang kota di sepanjang Kali Besar, di sepanjang Jalan Pintu Besar Utara dan di sekitar lapangan Stasiun Beos dimanfaatkan untuk tempat kegiatan umum dan komersial terbatas. Penambahan struktur/bangunan baru untuk fasilitas umum pada ruang kota dibuat seminimum mungkin dan tidak merusak ruangnya.
  3. Pada bangunan cagar budaya dimungkinkan dilakukan adaptasi terhadap fungsi-fungsi baru sesuai dengan rencana kota, yaitu memanfaatkan bangunan-bangunan untuk kegiatan komersial, hiburan, hunian terbatas/ hotel, dan apartemen.
  4. Penataan papan nama dan papan iklan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan  di  dalam pedoman papan  nama  dan  papan  iklan  dalampedoman ini.

Lingkungan Cagar Budaya Golongan III
Lingkungan cagar budaya Golongan III (lihat gambar 9), berada di luar Lingkungan Golongan I dan II, yaitu area yang berdekatan dengan Sungai Ciliwung di sisi timur dan area di dekat Sungai Krukut (Jelakeng) di sisi barat. Pada lingkungan ini terdapat beberapa bangunan yang masuk ke dalam kategori bangunan cagar budaya golongan B. Sedangkan mayoritas bangunan pada lingkungan ini adalah bangunan bukan bangunan cagar budaya.
Gambar 9  : Lingkungan cagar budaya Golongan  III
Sumber : Sumber : Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran DKI Jakarta,  1990,  Jejak Jakarta Pra-1945

  1. Untuk memperkuat karakter Zona 2 Kawasan Cagar Budaya Kotatua, rancangan Lingkungan Golongan III perlu mengikuti pola bentuk fisik Lingkungan Golongan I dan II, yaitu dibentuk oleh bangunan rendah (low rise building) dengan sempadan 0 (nol). Hanya bangunan-bangunan yang fungsi dan perannya significant boleh memiliki setback.
  2. Revitalisasi kawasan Jalan Kopi dan Roa Malaka, sebagai bekas kota Jayakarta melalui penataan ruang kota dan pemasangan prasasti penanda sebagai tempat bersejarah.
  3. Penataan papan nama dan papan iklan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan di dalam pedoman papan nama dan papan iklan dalam pedoman ini.

SEJARAH KOTA BANDUNG
Kota Bandung tidak berdiri bersamaan dengan pembentukan Kabupaten Bandung.  Kota  itu  dibangun  dengan  tenggang  waktu  sangat  jauh setelah  Kabupaten  Bandung  berdiri.  Kabupaten  Bandung  dibentuk  pada sekitar  pertengahan  abad  ke-17  Masehi,  dengan  Bupati  pertama  tumenggung Wiraangunangun. Beliau memerintah Kabupaten bandung hingga tahun 1681.
Semula Kabupaten Bandung beribukota di daerah jaman dahulum (sekarang Dayeuhkolot) kira-kira 11 kilometer ke arah Selatan dari pusat Kota Bandung sekarang.  Ketika  kabupaten  Bandung  dipimpin  oleh  bupati  ke-6, yakni  R.A  Wiranatakusumah  II  (1794-1829)  yang  dijuluki  "Dalem  Kaum  I", kekuasaan  di  Nusantara  beralih  dari  Kompeni  ke  Pemerintahan  hindia Belanda,  dengan gubernur jenderal pertama Herman Willem Daendels (1808-1811). Untuk kelancaran menjalankan  tugasnya  di  Pulau  Jawa, Daendels membangun  Jalan Raya Pos (Groote Postweg)  dari  Anyer di ujung barat Jawa Barat  ke  Panarukan  di  ujung  timur  Jawa  timur  (kira-kira  1000  km).
Pembangunan jalan raya itu dilakukan oleh rakyat pribumi di bawah pimpinan bupati daerah masing-masing.
Di  daerah  Bandung khususnya dan daerah  Priangan  umumnya,  Jalan Raya  pos  mulai  dibangun  pertengahan  tahun 1808,  dengan memperbaiki  dan memperlebar jalan yang telah  ada. Di daerah Bandung sekarang, jalan raya itu adalah Jalan Jenderal Sudirman - Jalan Asia Afrika - Jalan A. Yani, berlanjut ke Sumedang dan seterusnya. Untuk kelancaran pembangunan jalan raya, dan agar  pejabat pemerintah kolonial  mudah  mendatangi kantor bupati, Daendels melalui  surat  tanggal 25 Mei 1810  meminta  Bupati  Bandung  dan Bupati Parakanmuncang untuk  memindahkan ibukota kabupaten,  masing-masing  ke daerah  Cikapundung dan  Andawadak  (Tanjungsari), mendekati Jalan Raya Pos.
Rupanya  Daendels  tidak  mengetahui,  bahwa  jauh  sebelum  surat  itu keluar,  bupati  Bandung sudah merencanakan untuk memindahkan  ibukota Kabupaten  Bandung,  bahkan telah menemukan tempat  yang cukup baik dan strategis bagi pusat  pemerintahan. Tempat  yang  dipilih  adalah  lahan  kosong berupa hutan, terletak  di  tepi  barat  Sungai  Cikapundung,  tepi  selatan Jalan Raya Pos yang sedang dibangun  (pusat  Kota  Bandung  sekarang).  Alasan pemindahan ibukota  itu  antara  lain,  daerah jaman dahulu  tidak strategis sebagai ibukota  pemerintahan,  karena  terletak  di  sisi selatan  daerah  Bandung dan sering dilanda banjir bila musim hujan.
Sekitar  akhir  tahun  1808/awal  tahun  1809,  bupati  beserta  sejumlah rakyatnya  pindah  dari  daerah  jaman  dahulu  mendekali  lahan  bakal  ibukota baru. Mula-mula bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti), kemudian pindah ke Balubur Hilir, selanjutnya pindah lagi ke Kampur Bogor (Kebon Kawung, pada lahan Gedung Pakuan sekarang).
Tidak diketahui secara pasti berapa lama Kota Bandung dibangun. Akan tetapi, kota itu dibangun bukan atas prakarsa Daendels, melainkan atas prakarsa Bupati  Bandung,  bahkan  pembangunan  kota  itu  langsung  dipimpin oleh  bupati. Dengan kata lain, Bupati R. A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (the founding father) Kota Bandung.  Kota Bandung diresmikan sebagai ibukota baru Kabupaten Bandung dengan surat keputusan tanggal 25 September 1810. 

Gedung – gedung Bersejarah
NO
NAMA
ATRAKSI
LOKASI
KETERANGAN
1.
Gedung Sate
Jl.Diponegoro
Peninggalan colonial
kini simbol dan
gedung pemerintahan Jawa
Barat
2.
Bank
Indonesia
Jl. Braga
Peninggalan Kolonial
Belanda
3.
Villa Isola
Jl.Dr.Setiabudhi
Bekas peristirahatan warga
Italia, kini rektorat UPI

4.
Balai Kota
Balai Kota
Peninggalan kolonial
Belanda, kini kantor
pemerintahan Bandung

5.
Balai Pakuan
Jl.Otto Iskandardinata
Bekas peristirahatan
pemerintahan Belanda,
kini rumah dinas Gubernur
Jawa Barat
6.
Pendopo
Alun-alun Selatan
Bangunan pemerintahan
kawedanan Bandung masa
lalu
Sumber : Data Sekunder Bandung Heritage

KAWASAN YANG ADA DI KOTA BANDUNG 
Kawasan Jl. Braga
Braga adalah nama sebuah jalan di jantung kota Bandung.  Pada awal tahun 1800 di Jalan Braga sekarang sudah terdapat jalan setapak yang menghubungkan  Alun-alun, Merdeka Lio, Balubur, Coblong, Dago, Bumiwangi, dan Maribaya sekarang ini dengan jalan tradisional pada masa kerajaan Pajajaran yang menghubungkan Sumedanglarang dan Wanayasa. Jalan tersebut berkembang  menjadi jalan lalu lalang penduduk  dan angkutan hasil bumi terutama kopi dari  Gudang  Kopi  (di lahan parkir dan taman  Balai  Kota sekarang).alat angkut yang umum  digunakan  saat  tu adalah pedati,  sehingga jalan tersebut dinamai Karrenweg  yang kemudian leih dikenal dengan nama Pedatiweg (Jalan Braga).
Berbagai pendapat yang menyebutkan asal nama Braga. Konon menurut  Haryoto  Kunto  berasal  dari  perkumpulan  tonil  Bragabyang didirikan  oleh Asisten  Residen Pieter  Sijthoff  pada  tanggal  18  Juni  1882, namun  di  kalangan orang  sunda, nama Braga  diambil dari kata  Ngabaraga yang  artinya  berjalan  – jalan  di tepi  sungai  (Suganda,  2007).  Toko – toko mulai  dibangun  di  sepanjang  jalannya,  yang  terdiri  dari bangunan – bangunan  deret  yang  berdiri  berdempetan.  Bangunan didirikan satu persatu dalam waktu yang tidak bersamaan, sehingga menghasilkan gaya bangunan yang berbeda yang  memberikan  keberagaman  arsitektur, diantaranya  adalah  gedung  Escompo  Bank  pada  tahun  1900,  Javasche Bank  di  jalan  Braga  bagian  utara  dibangun  pada  tahun  1909,  dengan bentuk  yang  masih  sederhana,  dan  pada  akhir  tahun  1920-an  diganti dengan  yang  baru  dan  megah,  De  Eerste  nederlandsche - Indische Spaarkas  en Hypotheekbank, disingkat menjadi  DENIS, pada tahun 1915, juga bioskop Majestic dan Hotel Braga. 
Tempat berkumpulnya di Societeit Concordia, yang sekarang menjadi Gedung Merdeka.  Sebagian besar dari bangunan  tersebut  bergaya Art  Deco, sehingga  dapat  dimengerti pak Ateng Wahyudi  ketika  sedang menjabat  sebagai  walikota  Bandung,  mencanangkan  kawasan  Braga sebagai  distrik  Art  Deco. Setelah  kemerdekaan,  bung  Karno (Presiden pertama  Indonesia), sempat memberi nama ‘Sarinah’  pada  sebuah  toko  di penggal  selatan jalan,  dimana tokon  ini  menjual  barang    barang  produksi Indonesia.
Kawasan  Braga  dikenal  sebagai  kawasan  komersial  yang  paling bergengsi  pada  masa  lalu,  tempat para  preanger  planters  dan  masyarakat Eropa  berrekreasi;  berjalan    jalan  di  udara  yang  sejuk,  berbelanja  atau hanya  sekedar  menikmati  suasana  sambil  minum  dan  makan  snack  di Maison Bogerijn (sekarang Braga Permai) dan cafe – cafe yang terdapat di jalan  tersebut.  Di  sini  dijual  barang    barang  eksklusif  yang  khusus didatangkan  dari Eropa  untuk  memenuhi  kebutuhan  masyarakat Eropa yang tinggal di Bandung dan sekitarnya. Tidak ada yang menyaingi kehebatan Braga pada saat itu.
Upaya  revitalisasi  kawasan  Braga  sudah  dirintis  sejak  awal  tahun 1960-an. Sejalan dengan upaya untuk menghidupkan kembali Jaarbeurs, di kawasan  Braga  sempat diadakan Braga Festival yang dilakukan  setiap tahun dengan harapan kawasan Braga dapat kembali ramai dikunjungi oleh pelancong untuk berbelanja.
Tahun 2000-an mulai kembali gencar wacana revitalisasi kawasan Braga dengan segudang rencana dan upaya. Braga City Walk dibangun dalam lahan bekas Bengkel Mobil PT Permorin (Furch en Rens) dengan idealismentuk menghidupkan kembali kawasan Braga.
Braga saat ini dihargai sebagai kawasan historis, dengan karakter kolonialnya yang sangat kuat dan layak dipertahankan. Berbagai pihak tertarik dan telah mengadakan studi2 mengenai kawasan ini, dan berbagai usulan rancangan telah dihasilkan.  Keadaannya sebagai shopping street tetap dipertahankan,namun terlihat tidak begitu berhasil karena tersaingi oleh pusat-pusat  perdagangan  berupa  shopping  center. Menurut RBWK 2005 Kota Bandung, daerah ini termasuk ke dalam daerah dengan fungsi perdagangan, eceran ( retail ), hiburan, restoran dan hunian.
Apabila  ditinjau dari aspek pariwisata, kawasan ini  memiliki potensi  sebagai  atraksi  wisata,  karena  lazimnya  wisatawan  ingin  melihat sesuatu  yang  khas  atau  merasakan  suasana  yang  berbeda.  Faktor penarik yang dominan dan potensial di Braga adalah karakter kawasan yang unik, yang bercerita tentang nostalgia zaman kolonial Belanda di Indonesia.Skala ruang dan karakter lingkungannya yang unik tidak dapat dijumpai di tempat lain di Bandung. Kawasan Braga juga memiliki bagian  yang dapat disebut  sebagai  urban  waterfront,  yaitu  daerah  di dalam  kota  yang berbatasan dengan air, seperti sungai atau kanal. Pada negara-negara yang sudah  lebih  maju,  waterfront  merupakan  lokasi  yang  sangat potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata Kawasan Braga merupakan pusat belanja  barang mewah dan eksklusif yang beberapa diantaranya tidak dijual di pusat  pertokoan  lain dan  bahkan di kota lain karena barang yang  dijual  langsung  diimpor  dari rumah mode atau pabrik di luar  Hindia  Belanda.  Pertokoan di Jl. Braga terkenal dengan kualitas pelayanan dan barang yang dijual serta layanan purna jualnya.  Penjahit di Braga sanggup melayani pembuatan stelan jas dengan bahan terbaik dan jahitan terpercaya hanya dalam satu hari saja. Itu semua adalah kenyataan yang terjadi di Jl.Braga tempo doeloe.
Kembalikan kenyataan tersebut ke kawasan Braga, baru kawasan Braga dapat kembali menjadi pusat perhatian warga Bandung dan pelancong dari luar Bandung.  Cara lain, jadikan kawasan Braga sebagai pusat Factory Outlet. Di  kawasan  Braga  tempo doeloe semua kebutuhan masyarakat tersedia dengan kualitas primadan  eksklusif  mulai dari  pakaian  mewah, perhiasan, minyak  wangi  dan  kosmetik,  jam,  kacamata, makanan dan minuman, kue dan  es  krim, Obat  – obatan,  tempat  hiburan,  lembaga keuangan,  salon,  penjahit  berkelas,  pencuci  pakaian,  sepatu  dan  barang dari kulit, mobil dan  bengkel, alat listrik  dan mekanis, hotel,  cenderamata, koran dan majalah,  alat olahraga, tempat tidur dan alat rumah tangga, toko  bunga, alat musik, dan perusahaan gas.
Toko  pertama  yang  dibangun  C.A.Hellerman  di  Bragaweg (Jl.Braga)  pada  tahun  1894  adalah  toko  yang  menjual  senjata  api,  kereta kuda,  sepeda,  dan  juga  sebagai bengkel reparasi senjata api. Harga tanah yang murah memungkinkan C.A.Hellerman membangun beberapa bangunan toko lainnya yang kemudian diperjualbelikan. Toko Hellerman sendiri dibangun dengan menara di kedua sisi bangunan. Sebagian bangunan kemudian menjadi Toko Tabaksplant yang menjual bermacam tembakau, pipa rokok dan rokok. Bangunan toko tertua kedua di Bragaweg setelah  toko  yang  dibangun  C.A.Hellerman  adalah  bangunan  toko  yang dibangun  oleh C.M Luyks yang mempunyai toko di Tjibadakweg (Jl.Cibadak), yaitu  NV.Handelmij C.M.Luyks pada tahun 1898.
Bandung dikenal sebagai kota kembang.  Selain  pasar  kembang  di depan  toko  Van  Drop, di  Bragaweg  (Jl.Braga)  terdapat Bloemenhandel Abundantia  (toko bunga Abundantia) milik G.J.Boom yang  juga memiliki kebun bunga di Boumanlaan (Jl.Kidang Pananjung). Demikian terkenalnya toko bunga  ini  sehingga mendapat pesanan   dari Istana Gubernur  Jenderal Hindia  Belanda  di  Waltevreden  (Gambir)  Batavia  setiap  hari  dikirim dengan kereta api atau pesawat udara sejak tahun 1925 sampai 1942.

Kawasan Jl. Asia Afrika
Pada  tahap  awal  perubahan  nama  Grote  Postweg  adalah  menjadi Jl.Raja  Timur  (mulai  dari  Jl.Pasarbaru    ke  timur)  dan  Jl.Raja  Barat. Perubahan  kedua  terjadi  tahun  1955  ,  yaitu  Jl.Raja  Timur  terbsgi  dua menjadi  Jl.Raja  Timur  (mulai  simpang  lima  ke timur)  dan Jl.Asia  Afrika. Tahun 1966, Jl.Raja Timur menjadi Jl. Djenderal A.Yani dan Jl.Raja Barat menjadi Jl.Djenderal Sudirman.
Setelah  Preanger dan Homann,  kita  akan  melihat titik  0  km  kota Bandung.  Jika  nada  belum  pernah  melihat,  anda  bisa  pergi  ke  seberang Savoy  Homann  tepatnya  di  depan  Kantor  Dinas  Bina  Marga. Riwayat kilometer 0 kota Bandung ini bermula dari pembuatan jalan pos oleh Gubenur Daendels yang melewati Bandung.  Ketika itu Bandung masih berupa perkampungan.  Pada saat itu,  di  tempat  km  0  ini, Daendels menancapkan  kayu  dan berpesan  agar  bila  dia datang  kembali  maka  di tempat  ini  telah  dibangun  sebuah  kota.  Berikut  kata-kata  aslinya  “Zorg, Dat  Als  Ik  Terug  Kom  Hier  En  Stad  is  Gebouwd”.  Dari km 0 kota Bandung, kita akan menemui bangunan bersejarah lainnya, yaitu gedung Merdeka dan Museum Konperensi Asia Afrika.
Tugu peringatan Kilometer Bandung “0.00” (KM. BD 0.00) diresmikan pada tahun 2004. Letaknya  di  belakang Patok Kilometer  BDG “0”,  di  halaman  Kantor  Pekerjaan Umum  (PU)  Provinsi Jawa  Barat. Mesin  gilas  pada  tugu  merupakan  gilas  pertama  yang  meratakan  dan mengeraskan  Grote  Postweg  sekitar  Patok  Kilometer  “0.00”  (1900-an).Pada posisi Patok  Kilometer tersebut Gubernur  Jenderal  H.W.  Daendels menancapkan tongkatnya dan meminta Bupati Tatar Ukur R.A.A.Wiranatakoesoemah II agar memindahkan Ibukota Kabupaten dari Krapyak ke titik bekas tongkat menancap. 
Dua hotel tertua di Bandung  yang berada di jalan Asia Afrika yaitu Grand  Hotel Preanger dan Hotel Savoy Homan, didirikan pada abad 19, kini terjaga  eksistensinya berkat upaya konservasi dan revitalisasi. Diharapkan bangunan-bangunan bersejarah lain di Bandung pun akan mengalami upaya serupa.
Grand Hotel Preanger di Jl. Asia Afrika, dekat kilometer nol-nya Bandung.  Hotel rancangan Schoemaker ini berlanggam Art Deco dengan ciri khas elemen dekoratif geometris pada dinding eksterior. Melalui financial district sepanjang Jl.  Asia Afrika yang dihiasi bangunan tua di kanan kirinya.
Jalan Asia Afrika. Jalan ini merupakan jalan protokol kota Bandung.  Hati-hati  jika  menyeberang  di  jalan  ini, mengingat  arus  lalu lintas  yang  padat  dan  ramai. Perlu anda tahu, Jalan Asia Afrika ini merupakan bagian jalan pos (Grotte Postweg) yang dibangun oleh Daendels. Di koridor jalan ini anda akan dimanjakan dengan keindahan bangunan lama cantik nan bersejarah pada jamannya.
Di  mulai  dari  Grand  Hotel  Preanger,  anda  bisa menikmati keindahan hotel bergaya art  deco karya arsitek CP Wolff Schoemaker dan muridnya,  yaitu  Soekarno  sebagai  juru  gambar.  Grand Hotel Preanger,merupakan salah satu hotel terbesar  dan bersejarah di kota Bandung. Preanger merupakan salah satu hotel yang digunakan untuk menginap para peserta konferensi Asia Afrika. Jika anda sudah sampai di sini, jangan lupa membawa kamera untuk mengabadikan kecantikan hotel ini.
Selain  hotel  Preanger,  di  Asia  Afrika  kita  akan  menemui hotel bergaya art  deco lainnya yaitu Hotel Savoy Homann. Cikal bakal hotel ini adalah hotel Post  Road yang didiirikan oleh Tuan Homann pada tahun 1880 dengan arsitektur  bangunan  Romantic dan Baroq. Sejak didirikan, hotel ini merupakan hotel terbaik di Kota Bandung, sehingga banyak orang terkenal maupun pejabat pemerintahan yang menginap di sini.  Pada saat konferensi Asia Afrika digelar, banyak kepala Negara yang menginap di sini. Bahkan  pada  tahun 1927, Charlie Chaplin dan  Mary  Picford  juga menginap di hotel ini. Hmmm.ternyata hotel di kota Bandung selain indah juga memiliki cerita historis tersendiri.

Kekayaan Cagar Budaya Kota Bandung
Untuk  mengembangkan  wisata  heritage di kota  Bandung,  hal  pertama yang  harus  dilakukan  adalah  menganalisis warisan budaya  yang  dimiliki  kota Bandung.  Selama ini kota Bandung sudah terkenal memiliki kekayaan arsitektur dan gedung-gedung bersejarah. Gedung-gedung bersejarah yang memiliki nilai seni dan budaya itu ada beberapa diantaranya :

1.  Gedung Sate 
Gedung sate dibangun pada tahun 1920-1924 di Wilhelmina Boulevard (sekarang jalan diponorogo)  dengan peletakan batu pertma oleh Nona Johan Cathrine Coops putri sulung walikota bandung B. Choops dan nona petronella roelofsen yang mewakili gubernur hindia belanda di batavia. Gedung sate merupakan karya monumental arsitek Ir.Gerber. Gaya arsitekturnya merupakan perpaduan langgam arsitektur tradisional indonesia dengan teknik konstruksi tradisional indo-eropeesche architektur stijl. Masih ada empat bangunan di bandung dengan arsitektur yang sama,yaitu the javasche bank (bank indonesia bandung), toko van dorp (Landmark),bioskop majestik (gedung asia afrika curtural center),Technische  hooggeschool  (Institut teknologi bandung).
Gedung sate menjadikan kantor gubernur jawa barat menjadi ikon kota bandung    hususnya dan jawa barat umunya. Sebagai peringatan terhadap tujuh pemuda  pejuang yang  gugur  ketika  mempertahankan gedung sate  dari serbua tentara ghurka (tentara sekutu) pada tanggal 3 desember 1945,di depan halama gedung sate terdapat monumen berbentuk batu alam besar bertuliskan nama  para  pemuda dengan cara di  patahkan. Batu monumen ini sejak 31 agustus 1952 tergeletak di pinggir timur lapangan di belakang gedung sate di bawah pohon karet (Ficus elastica) yang besar berumur puluhan tahun.
Gaya arsitektur gedung sate merupakan antara gaya arsitektur italia arsitektur hindu dan islam. Pada bagian bawah dinding gedung terdapat ornamen berciri    tradisional  seperti  candi hindu, sedangkan  di  bagian  tengah  terdapat  menara  yang  umum terdapat pada arsitektur islam dengan atap tumpak seperti meru  di bali.  Faktor iklim tropis sangat di perhatikan dengan pemberian teritis (overstek) yang lebar dengan adanya selasar pada lantai dasar agar sirkulasi udara serta sinar matahari dapat masuk dengan baik ke dalam bangunan. Atap meru (atap tumpuk) di bangun utama unsur kuat (vokal point) bangunan ini. Rancangan atap adalah upaya memasukkan unsur lokal pada bangunan. 
Kompleks Gedung Sate dirancang terdiri dari 3 bangunan utama, yang diletakkan secara simetris.  Namun  pembangunan  tidak  terselesaikan  dengan utuh,  karena  biaya  pembangunan  kurang,  terpotong  oleh  korupsi.  Hanya bangunan utama yang terletak ditengah dan bangunan di sayap kiri saja yang dapat dibangun, sedangkan bangunan sayap kanan tertunda. Sayap kanan akhirnya dibangun oleh Biro Arsitek team 4, di bawah pimpinan Ir. Sudibjo Projosaputro, M.Arch. Pengecoran beton, penyusunan batu-batu kualitas tinggi serta pemasangan fondasi beton dapat diselesaikan dalam waktu 4 (empat) bulan. Biaya yang dikeluarkan pada tahap pertama adalah 6 (enam) million gulden. Angka 6 (enam) ini kemudian  diterapkan  pada  ujung  puncak seperti  tusuk  sate,  sehingga  kemudian  lahirlah  nama  (istilah) ‘GEDUNG SATE’.

2. Gedung Kologdam (Jaarbeurs)
Prakarsa penyelenggaraan Jaarbeurs (Pameran dagang tahunan atau bursa dagang tahunan) dicetuskan oleh organisasi commite tot behartiging vanBandoeng’s  Belangen (Komite Guna Mengurus  Kepentingan  Kota  Bandoeng) yang  pada  tahun  1920  berubah  nama  menjadi  Bandoeng  Vooruit. Komplek Jaarbeurs didirikan pada tahun1917-1919 dalam bentuk gedung semipermanen dan mulai digunakan pada tahun 1925 berdasarkan karya arsitek bersaudara C.P.  Wolff Schoemaker dan R.L.A Schoemaker bergaya arsitektur Art deco. Gedung utama Jaarbeurs menjadi gedung MAKODIKLAT TNI-AD (sebelumnya disebut gedung Kologdam).  Jaarbeurs terakhir diselenggarakan pada tanggal 28 juni-13 juli 1941. Pada  tahun  1930  gedung  dalam  kompleks Jaarbeurs  juga  digunakan sebagai  ruang  sekolah Gouvernements Lyceum dan Gouverne-ments Hogere  Burger  School  (HBS).  Akhir tahun 1930 gedung utama Jaarbeurs juga digunakan sebagai ruang pameran lukisan atau karya seni lainnya dan sebagai ballroom (ruang pesta dansa). 
Di puncak bagian depan bangunan utama Jaarbeurs terdapat tiga buah patung torso tampak depan laki-laki tanpa busana yang tidak terlacak asal-usul dan maksudnya. Perjalanan tampilan ketiga patung tersebut cukup unik untuk disimak.  Tahun 1950 patung-patung tersebut ditutup sampai batas dada dengan dinding papan yang kemudian ditutup seluruhnya dengan dinding bata. Akhir tahun 2000 ketiga  patung itu dibuka dan ditampilkan tanpa busana kembali, tahun 2002 ketiga  patung diberi celana dari lempeng  logam. Awal tahun 2003 ketiga patung kembali tampil bugil dengan dicat hitam seluruhnhya. Awal tahun 2004 ketiga patung dicat dengan  menggunakan teknik airbrush dengan warna tembaga sehingga tampak indah dan  “hidup” karena terlihat jelas gambaran otot-otot pada patung – patung tersebut.  

3.  Gedung Merdeka
Pada saat dibangun, bangunan ini merupakan tempat berkumpulnya masyarakat  Eropa,  terutama  para  pekebun  yang  berada  disekitar  Kota Bandung,  untuk  berekreasi,  berpesta  dansa,  minum-minum  sambil memamerkan baju dan aksesorisnya. 
Pada jaman Pemerintah Belanda bangunan ini dinamakan Societeit Concordia.  Letaknya  di  ujung selatan  pertokoan  elit  jalan  braga,  tempat dijualnya barang-barang bermerk yang diminati oleh masyarakat belanda pada saat  itu.  Bangunan utama dibangun oleh arsitek C.P.W. Schoemaker pada tahun 1922, sedangkan bangunan tambahan disamping dibangun oleh AF. Aalbers.
 
4.   Hotel Preanger
Sejak  tahun 1825 di  lahan bangunan Grand  Hotel  Preanger  bagian belakang  sekarang  telah  berdiri  sebuah  herberg  (pesanggrahan).  Tahun  1856 di halaman depan henberg, di tepi Grote Postweg (Jl.Asia Afrika) berdiri Toko dan  Hotel Thiem  yang  dikelola oleh C.P.E  Loheyde yang banyak dikunjungi oleh preangerplanters. Akibat kekurangan biaya operasional, pada tahun 1897 Hotel Thiem  berpindahtangan  kepada W.H.C van Deeterkom yang menggabungkan Toko dan Hotel Thiem   menjadi  hotel  yang  bergaya arsitektur  Indische  Empire  Stijl dengan sentuhan gaya  Greek  Revival  serta mengganti namanya menjadi Hotel Preanger.
Tahun  1919-1929  dimulai dari bagian belakang  Hotel  Preanger  dibangun ulang  dengan  bentuk  seperti sekarang  ini  berdasarkan  rancangan  arsitek C.P.Wolf  Schoemaker dan juru gambar Soekarno Indonesia(yang kelak menjadi Presiden Pertama Republik Indonesia) dalam gaya arsitektur art Deco dengan  pengaruh  gaya  arsitek  Frank  Lloyd  Wright.  Nama Hotel diubah menjadi Grand Hotel Preanger. Dalam kunjungannya yang kedua ke Bandung tahun 1935, Charlie Chaplin yang didampingi aktris Paulette Goddard menginap di Grand Hotel Preanger.

5.  Savoy Homann Hotel
Bangunan Hotel Homann pada awalnya (tahun  1871-1872)  masih merupakan  rumah  panggung, berdinding gedek bambu dan papan,  beratap rumbia, tidak  berbeda  dengan  rumah penduduk  biasa (M.A.  Salmun, 1950, dalam Savoy Homann Panghegar Heritage Hotel, 1989). Ketika jalur kereta api masuk ke Bandung, tamu-tamu dari luar kota banyak berdatangan ke Kota Bandung dan membutuhkan penginapan. Hotel  Homann  kewalahan menampung tamu-tamunya,  sehingga  secara  bertahap  bangunan  sederhana tersebut dirombak  menjadi bangunan tembok bergaya  kolonial. Bangunan ini bertahan sampai terjadinya perubahan pada wajah Kota Bandung, dengan bermunculannya bangunan-bangunan modern yang dipelopori oleh kakak beradik Schoemaker. Bangunan Hotel Homann menjadi ketinggalan jaman dan tidak dapat menampung tamu-tamu yang sebelumnya menjadi langganannya.  Dalam kondisi terpuruk seperti itu, Van Es, pengelola homann dengan segera mengambil keputusan untuk membangun hotel baru. A.F. Aalbers dibantu oleh juru gambar R. De Waal merancang hotel baru, yang kemudian dilaksanakan pada tahun 1937 dan selesai pada tahu1939. Hotel baru tersebut diberi nama Hotel ‘Savoy’.  Nama  ‘Homann’  diambil  daripemilik  pertama, yaitu  A. Homann, seorang  imigran jerman  yang  terdampar ke Tatar  Priangan, sekitar tahun 1987an.
Saat  berlangsungnya  Perang  Dunia  II,  Hotel  Homann  menjadi berantakan  dengan  kedatangan  bala tentara  jepang. Hotel dijadikan asrama opsir jepang.  Segala peralatan dan kelengkapan hotel mengalami kerusakan berat. Ketika berlangsungnya konferensi Asia Afrika pada tahun 1955, Hotel Savoy Homann dijadikan tempat menginap para tokoh dunia yang menjadi delegasi. Dengan meletusnya Perang Dunia ke-II, bangunan hotel mengalami kerusakan berat. Dalam perjalanannya sampai  sekarang  bangunan  telah beberapa  kali  mengalami  renovasi.pertaman,  pada  tahun  1947  oleh  Van  Es, kedua, 1954-1955 oleh RHM.  Saddak dalam rangka menyambut Konferensi Asia Afrika, ketiga, 1989 oleh PT. Panghegar Group di bawah pimpinan HEK. Ruhiyat dan terakhir tahun 2000 oleh group bank Indonesia menjadi Hotel Homann Bidakara.
Gaya  bangunan  Hotel  Homann  adalah  gaya  yang  saat  itu  (1930an) sedang popular, yaitu Art Deco Streamline, dengan garis-garis horizontal yang sangat  kuat,  berwarna  putih. Gaya ini masih tetap dipertahankan sampai sekarang dan menjadi trade mark Hotel Homann.

6.  Museum KAA
Dahulunya, museum Konperensi Asia Afrika merupakan gedung bekas Societeit Concordia atau Gedung Merdeka. Gedung tersebut merupakan gedung yang digunakan untuk konferensi Asia Afrika pada tahun 1955. Setelah dewan  konstituante  dibubarkan  tahun  1959  dan  setelah  Majelis Permusyawaratan  Rakyat  Sementara  (MPRS)  bersidang  di  Jakarta  (1966), gedung bekas Societeit  Concordia  ini  dijadikan Museum Konferensi Asia Afrika dan Perpustakaan Gedung Merdeka  (1970-an) sampai sekarang. Konferensi ini merupakan konferensi yang sangat besar dan cukup berhasil. Untuk mengabadikan konferensi tersebut, maka didirikanlah Museum Konperensi Asia Afrika di Gedung Merdeka. Sampai saat ini, bangunan ini masih sangat terawat dan megah. Di dalam museum KAA, kita bisa melihat ruangan tempat konferensi berlangsung, catatan media pada tahun 1955, video KAA, buku-buku tentang KAA, dll. Atas prakarsa asisten Residen Pieter Sijhoff, Societeit (tempat pertemuan sosial dan rekreasi) dibentuk di Jalan Braga menempati bangunan berdinding bilik milik seorang Cina. Mengingat pengunjung bertambah ramai maka tahun 1870, Societeit dipindahkan ke sebuah bangunan berdinding papan yang lebih luas di sisi Barat Hotel Post road (kemudian menjadi Grand Hotel Homann) dan diberi nama Concordia. Pada tahun  1890, Societeit Concordia pindah ke  pojok  Barat  Simpang  Bragaweg  (Jl.Braga) dan Grated Postweg (Jl.Asia Afrika)  yaitu  di  tempat  sekarang  ini. Bangunan Societeit Concordia dibangun pada tahun1895. berdasarkan  Gouvernement  Besluit (Surat Keputusan Pemerintah)  No.3  tanggal  29  Juni  1879,  Societeit Concordia dinyatakan sebagai  perkumpulan yang memiliki  badan hukum. Warga Bandung  yang bisa menjadi anggota Societeit Concordia  harus memenuhi syarat, yaitu orang Eropa, bukan orang Eropa tetapi berkewarganegaraan Belanda, atau yang mempunyai kedudukan tinggi atau terpandang di masyarakat.
Selain jongos (pelayan), tukang sapu dan penjaga pintu, orang pribumi yang boleh masuk ke Societeit Concordia hanya dari kalangan Juragan Dalem (Bupati) dan keluarganya serta orang pribumi yang berstatus kewarganegaraan yang dipersamakan dengan orang Belanda.  Orang  Indo  Eropa  dan  orang Belanda  yang  urakan  lebih  suka mengunjungi Societeit Ons Genoegen (sekarang menjadi Yayasan Pusat  Kebudayaan  Bandung) di  Naripanweg (Jl.Naripan) yang bersifat lebih leluasa, bebas dan terbuka untuk umum.

7.  Museum Geologi
Museum Geologi Bandung adalah Museum geologi tertua (diresmikan tanggal 16 Mei 1929) dan satu - satunya di Indonesia dan terbesar di kawasan Asia tenggara. Museum Geologi yang dirancang oleh arsitek Menalda van Schouwenburg dengan gaya arsitektur Art Deco dibangun pada tahun 1928. Sampai sekarang museum geologi masih menjadi tujuan wisata baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara selain sebagai sarana penelitian dan wahana pendidikan untuk meningkatkan kawasan ilmu pengetahuann masyarakat terutama kalangan pelajar baik tingkat dasar maupun perguruan tinggi. Selama ini museum Geologi telah mengalami renovasi beberapa kali. Pada tahun 1954, Museum Geologi ditata ulang dan diresmikan penggunaannya kembalin oleh presiden pertama Republik Indonesia Ir.Soekarno. tahun 1980 dilakukan renovasi secara lokal. Renovasi besar-besar mulai dilakukan pada tahun 1998 untuk meningkatkan layanan informasi dan kualitas Museum, sehingga bertaraf Internasional dan multidimensi baik dari segi kualitas  dan  keragaman benda geologi  yang dipamerkan, maupun dari segi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknik  geologi dewasa ini. Dengan renovasi ini diharapkan Museum Geologi Bandung dapat menampung semua koleksi dan peragaan yang utuh di bidang ilmu kebumian dan ilmu lain yang terkait, dari hulu sampai hilir. Dengan renovasi yang berlangsung 21 bulan, dari  November 1998 sampai Juli 2000, luas museum yang dulu hanya 1000m persegi menjadi 6000m. Peresmian pembukaan kembali Museum geologi Bandung dilakukan oleh wakil Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 22 Agustus 2000.

8. Gedung Dwi Warna
Gedung  Dwi  Warna  adalah  suatu  bangunan  bersejarah  di  Kota Bandung,  Jawa Barat, yang dipergunakan  sebagai  tempat  rapat  komisi  pada Konferensi  Asia  Afrika (1955). Gedung ini pernah menjadi Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat dan gedung Sekretariat KAA Tahun 1955. Seusai KAA, bangunan ini dijadikan sebagai Kantor Pusat Pensiunan dan Pegawai, lalu Kantor Pusat Administrasi Belanja Pegawai yang namanya Subdirektorat Pengumpulan Data Seluruh Indonesia. Kini, gedung tersebut dipergunakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan Republik Indonesia Kantor Wilayah XII Bandung. Gedung tersebut dibangun pada tahun 1940 di bawah pengawasan
"Technische Dienst voor Stadsgemeente Bandoeng" dan diperuntukkan sebagai tempat dana pensiun seluruh Indonesia, dengan nama Gedung Dana Pensiun. Pada waktu pemerintahan Jepang berkuasa di Indonesia, gedung itu dipergunakan sebagai gedung Kempeitai. Kemudian pada masa pendudukan Belanda berfungsi sebagai Gedung "Recomba". 
Selain menjadi tempat sekretariat konferensi, sebagian lahan di gedung tersebut juga dipergunakan para delegasi untuk bersidang (bersama dengan Gedung Concordia). Komisi Politik, Komisi Ekonomi, dan Komisi Kebudayaan bermusyawarah di gedung tersebut. Soekarno meresmikan penggantian nama Gedung Concordia menjadi Gedung Merdeka dan Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwi Warna pada waktu memeriksa persiapan terakhir di Bandung pada tanggal 17 April 1955.

9.  Gedung ITB
Pemilihan  lokasi  kampus  Technische  Hoogesschool  (THS)  yang terletak di  daerah utara kota  Bandung  merupakan keputusan yang sangat  tepatkarena  udaranya  sejuk dan sepi, yang sangat ideal untuk lingkungan tempat studi. THS mulai dibangun secara bertahap pada tahun 1918 - 1935. Bangunan pertama yang dibangun adalah gedung aula Barat (1920) karya arsitek Henry Maclaine Pont bergaya arsitektur Eropa yang mengacu kepada gaya arsitektur Vernakuler Jawa (perpaduan gaya arsitektur tradisional nusantara dan keterampilan teknik konstruksi Barat). Dengan gaya arsitektur atap gaya rumah batak dan sentuhan gaya arsitektur atap rumah Minangkabau.berturut    turut  kemudian  dibangun  antara  lain  gedung Departemen Teknik sipil  (1920),  gedung  Fisika  dan  Fisika  Teknik  (1922), gedung Aula Timur (1924), gedung Teknik  Lijngkungan (1935) yang juga merupakan karya arsitek H.Maclaine Pont dengan gaya arsitektur yang sama. Arsitektur bangunan ini merupakan contoh yang sangat baik dalam penerapan unsur lokal, baik gaya arsitektur yang di padukan dengan gaya arsitektur dan konstruksi dari Barat (Eropa). Paduan itu menghasilkan suatu bentuk gaya Vernakular.
H.P.Berlage (arsitek terkenal Belanda) memuji rancangan bangunan  THS.ditengah ragam bentuk bangunan dengan gaya arsitektur kolonial yang menjiplak bentuk arsitektur di Belanda yang sebenarnya kurang  tepat  jika diterapkan  di alam tropis, kehadiran gedung  THS  diharapkan  menjadi gedung inspirasi bagi arsitek lain untuk lebih memperhatikan unsur lokal.  Gagasan untuk mendirikan perguruan tinggi teknik muncul pada awal tahun 1917. Dari sebuah yayasan swasta yang bernama Koninklijk Instituut voor Hoger Technish Onderwijs In Ned. Indie yang diketuai C.J.K. Van Aalst Ilmu Pasti dan Alam.  Kebutuhan  ruang  yang  luas  tanpa  terhalangi  tiang penyangga  merupakan masalah ketika merancang konstruksi aula Barat THS , karena  pada  saat  itu  belum  dikenal  konstruksi  beton  bertulang.  Jalan keluar yang ditempuh adalah dengan mengadopsi kostruksi karya kolonel A.  Emy anggota  kesatuan  Zeni  tentara  Perancis  di  Brogspanten  (1830),  yaitu  konstruksi lapisan  kayu yang dibuat melengkung dengan  bantuan pembautan. Konstruksi ini dapat menghasilkan ruang yang luas tanpa terhalang oleh tiang - tiang penyangga.
Tanggal 2 Maret 1959 Institut Teknologi Bandung diresmikan oleh Presiden Soekarno yang merupakan alumnus Technische Hoogeschool (THS). Peresmian ditandai dengan sebuah tugu prasasti yang terletak di sebelah selatan lapang sepakbola.  Pada tugu prasasti terukir piagam peresmian dan dilengkapi dengan patung dada Ir.Soekarno di puncaknya. Sekarang patung dada Ir.Soekarno tersimpan di Gedung Rektorat ITB. 

10.Rektorat Upi Villa Isola
Gedung UPI (Universitas Pendidikan  Indonesia), sebelumnya  bernama IKIP  (Institut  keguruan  dan  Ilmu  Pendidikan),  rancangan  arsitek  CPW Schoemaker  dan  didirikan  pada  tahun  1932.  Bangunan tersebut dirancang sebagai sebuah rumah villa milik seorang Belgia yang bernama Beretti. Bangunan dikenal dengan nama Villa Isola dan pernah menjadi sebuah kantor berita penting dimasa Pemerintahan Hindia Belanda.  Lokasinya sangat mendukung sebagai sebuah villa di pinggaran kota. yang kemudian diganti oleh J.W. Ijzerman, pegawai Staats Spoorwegen- SS Jawatan kereta api.  Pada tahun 1919 ditetapkan  bahwa  Perguruan  Tinggi Teknik  akan  didirikan  di  bandung  dengan  nama  Technise  Hogeshool  (THS). K.A.R Bosscha sang Raja Teh Malabar adalah salah satu tokoh pendiri THS. Pada  tanggal  3  Juli 1920  Technise  Hoogeschool (THS) yang merupakan perguruan  tinggi teknik pertama tidak saja  di  Bandung tetapi  juga di  Hindia  Belanda  resmi  dibuka. THS merupakan cikal bakal Institut Teknologi Bandung (ITB) sekarang.  Pada tanggal 18 Oktober 1924 Koninklijk Instituut voor Hoger Technish Onderwijs In Ned. Indie menyerahkan THS kepada Pemerintah Hindia Belanda. Pertengahan  tahun  1942 sebagian  fungsi  akademik THS dibuka kembali  setelah  beberapa  bulan  ditutup oleh pemerintahan Jepang dengan nama  Institute  of  Tropical  Sciences,  dan  pada 1 April 1944 THS  kembali dibuka seperti semula dengan nama Bandung Kogyo – Daigaku. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, THS dibuka kembali dan dipindahkan ke Yogyakarta dengan nama  sekolah Tinggi Teknik (STT),  kemudian ditutup pada bulan Desember tahun 1948 akibat agresi militer II Belanda.pada tanggal 21 Januari 1946  Perguruan  Tinggi Teknik didirikan kembali di Bandung yang merupakan Fakultas Teknik dalam Nood Universiteit di Jakarta kemudian berganti nama menjadi Universiteit van Indonesia(Universitas Indonesia).  Pada tanggal 2 Maret 1959 secara resmi didirikan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang merupakan penggabungan Fakultas Teknik dan Fakultas
Gaya bangunan adalah gaya awal dari langgam Neo Plastisism yang kemudian  berkembang menjadi gaya Art Deco yang dimungkinkan dengan adanya  perkembangan konstruksi beton, dimana kemudian gaya tersebut berkembang  menjadi  langgam  Modern  Internasional.  Bentuknya sangat plastis, menggunakan bentuk lengkung, baik pada eksterior maupun interiornya. Bangunan dikelilingi oleh taman yang indah, sangat cocok dengan lokasi bangunan yang berada di perbukitan di utara Kota Bandung. Pada  tanggal  16-18  Mei  1945  Villa  Isola  pernah  digunakan  untuk kongres  Pemuda.  Pada peristiwa  Bandung  Lautan  Api  lingkungan villa isola juga  merupakan  medan  pertempuran  tentara    tentara  sekutu  dan  Belanda dengan para pejuang Bandung. 

wilayah kawasan monas
Kawasan monas terletak di pusat kota Jakarta, sebagai landmark kota yangmemberikan citra kota sebagai simbol keindahan penataan ruang sebuah kota. Pada kawasan monas juga terdapat tugu nasional yang merupakan landmark keberhasilan pembangunan Indonesia. Fungsi dari kawasan monas ditetapkan sebagai kawasan pemerintahan tempat berkantornya para petinggi negara dan fungsi vital lainnya yang perlu mendapat perhatian khusus. Untuk mendukung fungsi kawasan civic centre sebagai lambang kebanggaan bangsa ditetapkan batas yang membagi zone pada kawasan tersebut, antara lain zone pelindung, zone penyangga dan zone inti. Untuk lebih jelasnya mengenai pembagian zone tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini:


Gambar 10 : Zona kawasan medan merdeka
sumber : Masterplan kawasan monas, Keppres 25/1995


Zona Taman Medan     (Merah)

1 komentar:

  1. selamat malam,
    perkenalkan nama saya ziza, dari universitas brawijaya jurusan perencaan wilayah dan kota.
    saya ingin bertanya, bagaimana saya bisa mendapat gambar 3D kota tua jakarta ya? karna disumber yang anda cantumkan saya tidak menemukannya. apakah anda memiliki datanya ? jika berkenan apakah saya boleh meminta file mentahnya? untuk bahan skripsi saya.
    terimakasih..

    BalasHapus